Apa kabar, Ksatria?
Maaf kalau kau merasa terganggu. Sesungguhnya akupun sudah tidak ingin menanyakannya lagi. Tapi, mereka terus bertanya padaku. ‘Bagaimana kabar Sang Ksatria?’ 'Bahagiakah ia dengan jabatannya kini?’ 'Kapan ia akan mengunjungi Kerajaan Tulis?’ 'Hubunganmu masih baik-baik saja dengannya, bukan?’
Menurutmu, aku akan menjawab seperti apa? Suratmu sudah lama tidak muncul di depan pintu paviliunku meski aku menunggunya pagi hingga malam. Ah, tahukah kau bahwa aku menunggu? Kurasa perhatianmu kini lebih tertuju pada perang dan perekonomian negaramu.
Tentu saja, aku ingin mengirimimu surat terlebih dahulu. Untuk sekedar mengucapkan selamat pagi, atau mungkin kita bisa saling bertukar cerita seperti yang dulu sering kita lakukan. Tapi aku selalu khawatir, apakah kau terlalu sibuk untuk sekedar membaca suratku? Atau bahkan melihatnya saja tidak sempat karena tertimbun kertas berisi laporan keuangan negara yang selalu kau baca setiap hari?
Jadi, bagaimana kabarmu hari ini Ksatria? Sesungguhnya aku sedikit sedih karena tidak tahu jawaban apa yang harus kuberi pada mereka yang menanyakannya. Aku bisa saja selalu menjawab 'tidak tahu’ disertai senyuman, tetapi bukankah itu akan mengundang pertanyaan lain yang mungkin tidak ingin kujawab?
Karena 'tidak tahu’ bisa berarti memang tidak mengetahui.. atau 'tidak ingin mengetahui’. Kau mengharapkanku menjawab yang mana?
Ah sudahlah. Kau bisa menjawabnya saat berkunjung ke Kerajaan Tulis dan membaca Diarium ini. Bukan dalam kunjungan kenegaraan, melainkan dalam sebuah kunjungan untuk melepas rindu, kalau kau bisa merasakannya.
0 Comments:
Post a Comment