Wednesday, April 13, 2016

Cerita Putri Pena: Pesan Prajurit Angin

“Jadi, ini ksatriamu?” tanya Prajurit Angin sore itu. Ia sedang mengunjungi tempat tinggalku, tepat ketika aku baru menyelesaikan satu lukisan sang Ksatria.
“Ya,” jawabku singkat.
“Di mana ia sekarang?” tanyanya lagi. Ia mulai mengingatkanku pada Putri Tutur yang banyak bertanya. Oh ya, di negeri baruku, tidak ada perbedaan untuk calon pangeran dan putri. Kami semua bergelar ‘Prajurit’ dan jika sudah lolos ujian akan mendapat gelar baru.
“Negeri 1000 Dagang,” jawabku kembali singkat. Sejujurnya aku belum terlalu ingin bercerita mengenai sang Ksatria pada para sahabat baruku di sini. Kami kan baru saling mengenal.

“Hmm..tidak terlalu jauh.. Jadi kalian sering bertemu?”
Aku ingin sekali menjawab, 'Menurutmu?’, tetapi untungnya masih bisa kutahan. “Tidak.”
“Hmm…” Ia terlihat memikirkan sesuatu tapi aku enggan bertanya.
“Bagaimana denganmu? Apa kau masih sering menghubungi putri jelita yang sering kau ceritakan itu?” Aku memindahkan lukisan sang Ksatria ke dekat jendela. Rencananya lukisan gambar dirinya berdiri tegap dengan pakaian kebesarannya itu akan kuberikan beberapa hari lagi pada hari lahirnya.
Prajurit Angin menunduk sekilas. Raut mukanya tidak seantusias sebelumnya. Sepertinya aku salah berbicara.
“Ia meninggalkanku,” ucapnya pelan. “Kau tahu, padahal aku begitu menyayanginya.”
Ya, aku tahu. Betapa sahabat baruku ini sering melukis Putri Jelita-nya ketika senggang. Betapa ia begitu bersemangat menunggu seekor merpati berkaki cokelat yang akan menyampaikan surat dari sang Putri untuknya. Betapa ia sudah menyusun berbagai rencana di masa depan untuk dijalaninya bersama sang Putri.
“Aku ikut sedih.” Pandangannya menerawang. Ia memaksa tersenyum. Sedetik kemudian ia kembali menatapku.
“Apakah kau menyayanginya?”
“Apa? Siapa?”
“Ksatriamu. Sosok dalam lukisan itu.”
“Tentu. Mengapa kau bertanya seperti itu?”
“Apakah ia menyayangimu?”
Aku terdiam. Entah mengapa, rasanya seperti ditampar.
Prajurit Angin mengulangi pertanyaannya. “Apakah ia menyayangimu?”
“Kurasa kau lebih baik menanyakan hal itu langsung kepadanya,” jawabku akhirnya. Hey, aku memang gemar membaca buku, perilaku seseorang, ataupun pertanda dari Semesta. Tapi aku tidak bisa membaca isi hati seseorang, bukan?
Prajurit Angin tersenyum. “Kalau begitu sebagai Sahabat, aku ingin mengingatkanmu satu hal…”
Aku diam, menunggu ia menyelesaikan ucapannya.
“Jangan membuang waktumu untuk sesuatu yang tidak pasti. Seseorang yang menyayangimu akan selalu memiliki cara untuk menunjukannya.”
“Maksudmu?”
“Aku harus pergi. Lain waktu kita bisa berbincang lagi. Terima kasih untuk jamuan sorenya.” Prajurit Angin menyarungkan pedang yang tadi ia letakkan di meja. Seperti diburu sesuatu  ia meninggalkan kediamanku. Meninggalkanku yang masih berusaha mencerna kalimatnya.

0 Comments:

Post a Comment