Sunday, August 20, 2017

Serba-serbi Tes Alergi

Kata Ibu, kulit saya sensitif. Dari bayi umur lima bulan, saya pernah menderita penyakit biah, semacam bisul tapi terus menerus dan munculnya di sekitar muka. Ibu panik, tapi kata orang-orang justru itu pertanda bagus. Nanti kalau udah besar, kulit muka sang anak jadi bagus.
Alhamdulillah terbukti.
Beranjak dewasa, sensitifitas kulit semakin menjadi-jadi. Sampai akhirnya memutuskan untuk menjalani tes alergi. Kenapa nggak dari dulu? Terlalu banyak alasan untuk dijabarkan, dan sejujurnya agak gimanaaaa gitu sama 'dokter kulit' karena pengalaman konsul sama dokter kulit jaman dulu nggak terlalu bagus.
Sebelum menjalani tes alergi, saya beberapa kali bolak-balik ke dokter kulit (satu-satunya? :')) ) di Bontang ini. Konsul, dikasih obat, dilihat perkembangannya, baru dirujuk untuk tes. Sebenarnya memang penasaran juga sih saya alergi apa..apalagi saya tipikal hampir pemakan segala (kecuali seafood :p ).
Untuk menjalani tes alergi, kita harus bebas dari pengaruh obat yang diberikan dokter. Sekitar 10 hari dari obat terakhir diminum, kata dokter saya. Masuk akal sih, supaya hasilnya akurat nanti.
Singkat cerita, 10 hari kemudian akhirnya saya menjalani tes alergi. Sendiri T__T. Nggak papa sih sebenernya, agak takut aja pulangnya. Kebayang susah bawa motor sendiri karena kedua tangan pasti disuntik-suntik #takutduluan.
Tes alergi ini dilaksanakan oleh dokter THT. Saya pilih di tempat praktiknya, bukan di RS, supaya bisa tes di luar jam kerja dan lokasinya nggak terlalu jauh.
Sebelum 'disuntik-suntik' seperti yang terlihat di blog, saya dicek bagian telinga, hidung, dan tenggorokan. Ternyata ini sebabnya tes alergi dilakukan oleh dokter THT. Siapa tau pasien punya riwayat asma, sinus atau penyakit THT lainnya yang berpengaruh pada daya tahan kulitnya. Waktu periksa ini saya lagi flu, tapi secara keseluruhan dokter menyatakan saya bebas dari penyakit yang berhubungan dengan THT.
Tibalah saatnya tes yang bikin deg-degan. Yang pertama, dilakukan di bawah lengan kanan. Sang dokter menggambar semacam tabel sederhana dan diberi nomor. Di tabel itu, diberi cairan-cairan yang berpotensi menyebabkan alergi.
Sambil mengoleskan, dokter menjelaskan satu per satu cairannya. Mulai dari debu-debuan, serbuk, kulit hewan (termasuk kecoa!), seafood, daging, beberapa sayuran dan buah, sampai teh dan kopi.
'Oh gini doang toh tesnya.,' dalam hati pede karena nggak jadi disuntik-suntik. Nggak lama setelah tangan kanan dan kiri dioles cairan-cairan tadi, asisten sang dokter kembali mengambil banyak botol kecil DAN ADA JARUMNYA.
Duh Gusti! Nggak boleh nangis!! T__T
Satu per satu, sang dokter 'mencolek' tipis kulit saya di tabel-tabel itu. Satu tabel satu jarum. Udah nggak konsen sama penjelasan dokternya karena keburu meringis menahan nyeri. Rasanya nggak sesakit disuntik sih, tapi tetep aja.. :____(


Setelah 31 jarum, saya diminta menunggu di luar untuk menunggu reaksinya. Sekitar 10 menit katanya. Jadi, saya kembali ke ruang tunggu bersama ibu-ibu yang kepo tangan saya kenapa.
Setelah dua pasien (lebih dari 10 menit!) saya dipanggil kembali ke ruangan dokter untuk dibacakan nasib, eh, hasilnya.  Di antara 31 lokasi ini, ada dua tempat memang yang keliatan bentol merahnya lebih menonjol dibandingkan yang lainnya. Artinya, dua zat inilah yang berpotensi menimbulkan alergi pada saya.
Dan dua zat itu ternyata...
COKELAT DAN UDANG.
Dua makanan yang agak saya suka :____)))
Oke, sebenarnya saya nggak terlalu addict sama cokelat memang. Dulu aja makan cokelat satu bar bisa habis bermenit-menit karena makannya diemut. Bukan apa-apa, takut sakit gigi karena saya juga punya riwayat sakit gigi yang lumayan panjang.
Belakangan, saya mulai berani makan cokelat secara normal. Digigit dan dikunyah. Walau nggak setiap hari makan cokelat batangan, saya baru sadar kalau unsur cokelat juga ada di makanan atau minuman lain yang biasa saya konsumsi. Sebut saja susu, es krim, kue, dan cemilan lainnya rasa cokelat.
Yang paling bikin greget? Mas LNG baru pulang dinas dan salah satu oleh-olehnya adalah cokelat putih kesukaan. Nggak boleh segigit aja ya? :____)))
Kalau udang sih..nggak terlalu masalah karena memang nggak makan seafood juga. Sedikit bermasalah karena sebenarnya hewan ini yang paling bisa saya makan di antara seafood lainnya selama ini.
Yasudahlah.
Tapi, dokter THT saya kurang puas dan masih penasaran ternyata. Saya diminta tes alergi tahap kedua untuk mengetahui penyebab detilnya karena siapa tau ada zat yang berpotensi menimbulkan alergi tapi tidak terdeteksi dari hasil tes tadi. Jadi, dua minggu lagi saya akan tes IGe (kalau nggak salah) dengan cara diambil darahnya di lab. Semoga cukup sekali aja diambilnya dan di satu titik :__)
Tes alergi ini direkomendasikan buat yang punya kulit sensitif juga dan cenderung makan aja. Dengan tes alergi, seenggaknya kita punya panduan zat apa aja yang harus dihindari supaya alerginya nggak kambuh. Di Bontang sendiri, tes alergi tahap 1 seperti yang saya jalani biayanya Rp 300.000,00. Setelah tes, dokter masih ngasih resep untuk obat alergi dan vitamin E untuk membentuk kekebalan tubuh (katanya).
Jadi, tes alergi nggak sehoror yang dibaca di google ternyata. Dan ingatlah, bagaimanapun kesehatan itu yang utama dan perlu diutamakan. Kalau tubuh udah mengeluarkan 'pertanda', beristirahatlah sejenak dan mungkin bisa segera diperiksakan ke dokter sebelum semakin parah.
Semoga kita semua selalu sehat lahir batin :).