Tuesday, April 19, 2016

Cerita Putri Pena: Pangeran untuk Putri

Hari ini, aku berkuda menuju Hutan Hijau. Ini adalah Hari Bebas-ku, satu hari di mana aku bebas untuk tidak melaksanakan kewajiban sebagai seorang prajurit Negeri Kilau. Setiap tahu nnya, seorang prajurit pasti akan mendapatkan hari ini, sesuai kebijakan Yang Mulia.
Suasana Hutan Hijau masih belum berubah. Syukurlah, setidaknya masih ada hal baik yang bertahan. Pepohonan bertambah rimbun, Sungai Bening bertambah jernih. Air suci masih menjadi tempat kegemaran para ksatria dan prajurit dari berbagai penjuru. Entah sekedar melepas lelah atau memang tergoda mencicipi air yang konon memiliki khasiat tertentu itu.

Kau ingin bertanya sesuatu padaku? Baiklah, sebelum kau bertanya, aku yang akan menceritakannya.
Aku sudah tidak bersamanya lagi. Ksatria Tak Berkuda, maksudku. Kalau kau rajin membaca tulisanku di Diarium, seharusnya hal ini tidak perlu begitu mengejutkan.
Aku tidak ingin berpanjang lebar menceritakan tentangnya. Yang kutahu, seorang ksatria sejati hendaknya bisa menepati janji, menyelaraskan perbuatan dengan ucapan. Yang kutahu, ia sudah berubah. Sangat berubah sehingga mungkin aku tidak mengenalinya lagi.
Benar, bagaimanapun, keadaan ini sedikit membuatku sedih. Bagaimanapun, ia sedikit banyak telah mengajarkanku menjadi seorang putri yang tangguh. Dengan atau tanpa cara yang kadang tidak dimengerti sebagian orang.
Kini, biarlah Semesta yang akan menyelesaikan pengaturannya. Aku sudah tidak akan berharap lagi bertemu dengannya. Kini, ia tak lebih menjadi Orang di Masa Lalu bagiku.
Ada satu pesan dari Putri Dongeng melalui suratnya. Ya, walaupun kami kini terpisah jauh, aku dan para sahabat di Kerajaan Tulis masih sering berkirim surat. Aku mempercayai Putri Dongeng sehingga aku nyaman menceritakan ini padanya.
‘Jangan mendoakan keburukan untuknya,’ tulis Putri Dongeng pada baris terakhir suratnya. Kami selalu percaya, Semesta akan melaksanakan tugasnya dengan baik. Membalas kebaikan dengan kebaikan, membalas keburukan dengan kebijakan.
Sedikit melihat ke belakang, aku tersenyum sendiri mengingatnya. Mengapa dulu rasanya selemah itu? Berharap bertemu padahal bisa jadi ia sama sekali tidak merindu. Mungkin ini juga salah satu dan menjadi pelajaran terakhir darinya untukku. Agar lebih berhati-hati menjaga hati dan memberikan perasaan. Terima kasih kalau begitu.
Lucunya, kabar ini juga cepat menyebar di kalangan para prajurit dan panglima Negeri Kilau. Entah siapa yang memulainya. Atau mungkin mereka yang menafsirkan sendiri jika aku sedang tidak berkonsentrasi latihan.
Panglima Strategi bahkan berbaik hati memberikan nasihatnya mengenai hal ini: kumpulkan, beri penilaian, pertahankan. Kumpulkan sahabat sebanyak-banyaknya. Berkenalan dengan para prajurit, panglima, ksatria, hingga pangeran maupun rakyat biasa. Beri penilaian dengan baik dan pertahankan seseorang yang dianggap terbaik. Pertahankan untuk menjadi seorang pendamping kelak, jika ia juga merasakan hal yang sama.
Aku hanya tertawa jika ia sudah membicarakan hal ini. Sungguh, aku sudah baik-baik saja sekarang. Kini aku perlu terus meningkatkan kualitas diri untuk menjadi seorang putri sejati. Tidak lagi terlalu giat mencari, kelak suatu hari akan ada yang menghampiri. Seperti kalimat dari Pangeran Perenung yang pernah ia tulis di salah satu suratnya: Menurutku, kau dapat menjadi seorang putri yang tangguh, atau bahkan seorang ratu. Sepertinya begitu.

0 Comments:

Post a Comment