Sunday, April 17, 2016

Cerita Putri Pena: Strategi dari Masa Lalu

“Hari ini kita akan mempelajari strategi baru. Strategi menguasai kawasan tak berpenghuni,” jelas Panglima Strategi setelah kami berkumpul menghadap Sang Raja. Kami yaitu aku, sang Panglima, Prajurit Api, serta Prajurit Angin.
Sebagai negara baru, Negeri Kilau memang masih akan terus memperluas wilayah kekuasaannya. Namun, Sang Raja tidak pernah mengijinkan pasukannya menduduki kawasan yang sudah menjadi milik negara lain. Ia tidak menyukai peperangan apalagi kalau untuk merebut wilayah.

Selama hidup di Negeri Kilau, Panglima Strategi sudah banyak memberiku bekal untuk menghadapi situasi seperti ini. Menguasai suatu wilayah, maksudku. Beberapa minggu yang lalu ia mengajari para prajurit muda memanah. Sebelumnya, ia juga membekali kami dengan kemampuan berkuda. Ya, di negeri ini, setiap prajurit berkesempatan menunggang kudanya masing-masing. Aku sendiri memiliki seekor kuda jantan yang kuat dan begitu lincah sehingga terkadang sulit mengendalikannya.
Sambil berkuda, Panglima Strategi memberikan gambaran wilayah yang akan kami tuju. Melewati Negeri 1000 Dagang, ujarnya. Bahkan ia menemukan jalan pintas dari dekat istana mereka untuk menuju kawasan tak berpenghuni itu.
Tentu, aku membawa pena kesayanganku. Kau tahu, menulis di atas seekor kuda memang bukan hal yang mudah. Tetapi aku sudah mulai membiasakannya untuk membuat pemetaan wilayah atau rute yang akan kami tuju. Panglima Strategi mempercayakan tugas itu padaku karena ia tahu akulah satu-satunya prajurit yang selalu membawa pena di samping anak panah dan busur.
Sesungguhnya perjalanan ini begitu indah. Angin bertiup sepoi meski matahari rasanya begitu dekat. Kudaku pun sedang berbaik hati, bisa kukendalikan dengan mudah.
Kami memasuki perbatasan Negeri 1000 Dagang. Prajurit Api melirikku sekilas. Mungkin ia tahu apa yang ada dalam benakku, atau mungkin juga tidak. Apa yang ada dalam benakku? Aku hanya berpikir, penaklukkan ini akan menjadi salah satu pengalaman terbaikku selama menjadi seorang putri, ah maksudku, prajurit.
“Mengapa kau tersenyum sendiri, Prajurit Tanah?” Panglima Strategi menoleh ke arahku. “Apakah tempat tinggal para ksatria Negeri 1000 Dagang ini mengingatkanmu pada sesuatu?”
Aku langsung mengalihkan pandangan. Apa katanya tadi? Tempat tinggal para ksatria…
“Ah! Pantas rasanya aku mengenal daerah ini!” Aku langsung menutup mulut. Sepertinya suaraku terlalu keras. Untung tidak ada yang mendengar selain kami berempat.
Panglima Strategi mengulum senyum. “Perlukah kita singgah di salah satu kediaman?” tanyanya. Menurutmu, aku harus menjawab apa?
“Tidak perlu, terima kasih Panglima. Maaf jika aku sedikit melamun tadi.”
Berkilo-kilo berikutnya, akhirnya kami tiba di wilayah kosong yang dimaksud Sang Raja. Panglima Strategi mencocokkan dengan peta yang ia bawa dan ternyata benar. Lebih dekat bila perjalanan ditempuh melalui Negeri 1000 Dagang.
Penduduk setempat biasa menyebut kawasan itu dengan Dataran Kering. Sesuai namanya, sepertinya hujan memang tidak pernah turun di daerah ini. Tanah-tanah keras, pepohonan pun tandus. Tidak ada seekor hewan pun melintas, apalagi manusia.
“Sesungguhnya akupun tidak mengerti mengapa Sang Raja ingin menguasai wilayah ini,” ujar Panglima Strategi sambil turun dari kudanya. Ia mendekati satu-satunya pohon yang masih tersisa.
“Tapi mungkin, wilayah ini menyimpan potensi besar yang tak terungkap, dan tugas kitalah untuk menggalinya.”
Kami bertiga mengikuti sang Panglima. Mungkin ia benar. Mungkin kami akan menemukan sesuatu yang menarik di sini.

0 Comments:

Post a Comment