Friday, November 25, 2016

Journey to The West (Sumatra) Part. 2

Konon katanya, menjelajahi Sumatra Barat nggak cukup dalam waktu satu minggu. Apalagi kalau sekedar 2 - 3 hari atau memanfaatkan misi ke kondangan seperti saya. Satu kota di Sumatra Barat aja punya banyak daya tarik dan ciri khas masing-masing. Belum lagi kalau suka pantai, duh cantik-cantik banget deh pantai di sana itu!

Bagi wedtraveller seperti saya, undangan pernikahan di kota baru justru agak membuat salah fokus. Alih-alih merencanakan bagaimana tampil kece di kondangan, saya lebih suka membuat itinerary sederhana tempat apa saja yang bisa dikunjungi dalam waktu singkat. Bahkan kalau bisa dimulai dari malam pertama menjejakkan kaki di kota tujuan itu.

Cerita sebelumnya: Journey to The West (Sumatra) Part. 1

Setelah cukup puas mengenal Bukittinggi di malam hari, saya dan partner kembali merencanakan jalan-jalan sebelum kondangan. Kebetulan acara kondangannya siang hari mulai pukul 11.00 WIB sehingga kami punya cukup banyak waktu untuk menjelajah lagi.

Untuk menghemat waktu, saya dan partner sepakat nggak sarapan di hotel. Berbekal petunjuk dari Waze, kami memulai perjalanan dengan jalan kaki. Sama seperti malam hari, udara pagi di Bukittinggi masih cenderung sejuk. Nggak membuat terlalu berkeringat meski cahaya matahari juga cukup cerah bersinar.
Selamat pagi, Bukittinggi! :')
Tujuan utama kami pagi itu adalah Goa Jepang. Terletak berdekatan dengan Ngarai Sianok, gua bersejarah ini memakan waktu tempuh sekitar 15 menit jalan kaki dari hotel. Sebenarnya bisa lebih singkat karena secara geografis gua yang ada di Taman Panorama ini terletak di belakang hotel! Kami terpaksa berjalan memutar karena mengikuti petunjuk Waze yang memberi petunjuk untuk jalan dengan kendaraan. FYI, jalan di depan hotel itu memang searah, jadi kalau pakai kendaraan memang harus memutar :__)))

Foto dulu biar nggak sedih karena jalannya memutar padahal ternyata bisa tembus langsung dari belakang hotel :))
Sampai di area Taman Panorama, kami disambut sekelompok pemuda yang entah sedang apa. Terlihat ramah kok, tapi tetap aja perlu waspada. Setelah membayar tiket masuk, saya dan partner langsung bergerak mencari spot foto. Ternyata, mungkin kami diperhatikan salah satu dari pemuda di pintu masuk tadi karena dia langsung menghampiri dan menawarkan memotret kami #pede.

Singkat cerita, uda ini memperkenalkan diri sebagai semacam tour guide untuk memandu ke Goa Jepang. Kalau yang saya tangkap dari ceritanya, sepertinya dia adalah 'mitra binaan'nya Disbudpar Bukittinggi untuk menjadi pemandu wisata di sekitar kawasan itu. Tidak hanya memahami sejarah Goa Jepang, Uda Ade juga terlihat menguasai informasi objek wisata di sekitar Taman Panorama itu.


Bahkan Uda-nya yang lebih semangat mengarahkan kami berpose di tempat yang punya background kece dan nggak backlight :p
Sekilas, saya jadi membandingkan dengan Goa Jepang yang ada di Tahura Bandung. Di sana juga ada jasa 'pemandu wisata', tapi terkesan 'menodong'. Yang di Bukittinggi ini, pendekatannya sopan dan terbuka. Sebelum masuk ke dalam goa, kami di-briefing singkat sekaligus diberi tahu harga jasa guiding-nya.

Berdasarkan informasi dari Kompas Travel, Goa Jepang pertama kali ditemukan tahun 1950. Konstruksinya sendiri dimulai tahun 1944 dan memakan waktu sekitar tiga tahun untuk menyelesaikannya. Pembangunan Goa Jepang menggunakan tenaga kerja dari Sulawesi, Jawa, dan Kalimantan. Tidak ada warga Bukittinggi yang dilibatkan pada pembangunan untuk menjaga kerahasiaan. Sebaliknya, mereka justru dikirim ke luar Sumatra untuk dipekerjakan secara paksa di proyek Jepang lainnya.

Memasuki Goa Jepang, kita perlu menuruni ratusan anak tangga. Goa dengan kedalaman sekitar 49 meter di bawah permukaan tanah ini memiliki panjang sekitar 6 kilometer dan bisa dijelajahi sekitar 20 menit untuk sampai di ujung jalan yang menjadi pintu keluarnya.

Pada masanya dulu, Goa Jepang ini merupakan tempat persembunyian tentara Jepang. Berbeda dengan gua pada umumnya yang dingin, lembap, gelap, dan menimbulkan gema jika ada suara, Goa Jepang yang di Bukittinggi ini terasa lebih 'rapi'. Sebagian besar dinding sudah ditutupi semen, tetapi tidak mengurangi penampakan aslinya. Yang unik, dinding gua yang masih asli sengaja dibuat tidak merata. Ada ceruk yang berfungsi meredam suara dalam gua sehingga tidak terjadi gema. Jepang udah cerdas dari dulu ya :')

Konon, lokasi yang juga dikenal sebagai 'Lubang Jepang' ini mampu menahan letusan bom hingga 500 kg. Ketika ada gempa di Sumatra Barat pun, gua yang mulai dibuka untuk umum tahun 1984 ini nggak mengalami kerusakan parah. Hanya lapisan semennya yang rontok, sementara kontur dindingnya tetap utuh.

Inilah beberapa ruangan dalam guanya:

Ini pintu masuknya

Inilah peta rencana pembangunan guanya. Beberapa bagian nggak bisa dimasuki / dilihat.

"Kalau mau foto-foto di dalam, ada aturannya."
"Apa?"
"Harus senyum."
" :___)))"

Jangan takut gelap :)



Bahkan udah ada EEAA! :))



Yang jelas bukan sidang usmas / skripsi..

Dapur yang nggak berfungsi sebagai 'dapur' pada umumnya :(

Ada kalanya kita bertemu persimpangan dan harus memilih..
Keluar dari Goa Jepang, waktu ternyata masih cukup pagi buat siap-siap kondangan. Saya dan partner memilih melanjutkan lagi perjalanan kami ke dua tempat wisata alam yang letaknya nggak jauh dari Taman Panorama tadi. Tunggu ceritanya di part.3 ya :D










Thursday, November 17, 2016