Tuesday, January 16, 2018

Oleh-oleh dari Desa Ende

Awal tahun 2018 sebelum sempat menyusun resolusi, saya berkesempatan mengunjungi salah satu pulau yang menjadi "10 Destinasi Wisata Unggulan Indonesia": Lombok. Meski dalam rangka business trip, kunjungan ini sekaligus menambah daftar baru pulau/kepulauan di Indonesia yang akhirnya bisa disinggahi.

Selain wisata pantai dan alamnya yang memang cantik, Lombok menyimpan warisan budaya yang masih terpelihara hingga kini. Mampirlah sejenak ke Desa Sasak Ende. Desa yang masih bernuansa asli, bahkan nyaris minim tersentuh teknologi masa kini.

Tiba di Desa Sasak Ende, kami (saya dan rombongan) disambut oleh gapura selamat datang berbentuk atap rumah Mataram yang khas. Beberapa bapak berseragam yang sebelumnya duduk mengobrol di gazebo dekat gapura, tersenyum menyambut. Salah satunya langsung sigap menghampiri, menjadi tour guide kami.

Selamat Datang!
Saya tidak memiliki gambaran sama sekali mengenai desa ini. Yang ada di benak saya, kondisinya mungkin kurang lebih sama dengan di Sukatali, desa nenek moyang. Kondisi badan yang sedang hamil muda juga membuat saya nggak terlalu excited untuk menjelajah. Ditambah jalanan yang cukup nanjak di area masuknya, maka pertanyaan pertama saya kepada sang tour guide adalah, "Berapa lama kita akan keliling?" *Belum apa-apa udah ngos-ngosan* 

Kelelahan saya mulai berkurang setelah berjalan beberapa meter dari gapura masuk tadi. Sekelompok anak kecil memakai baju adatnya, duduk dan kembali menyapa kami ramah, "Selamat dataaang!!" Otomatis, suasana hati ikut ceria melihat semangat mereka.

Belum sampai lima menit berjalan, ternyata kami diajak ke pemberhentian pertama: salah satu rumah adat Suku Sasak Ende. Rumah ini memang dijadikan obyek bagi wisatawan untuk melihat lebih detil sekaligus masuk ke dalam bagi yang berminat.

Permisi...

Yang unik dari rumah adat ini adalah konstruksinya. Bentuk atapnya rendah, sehingga pengunjung harus agak menunduk kalau mau naik ke teras apalagi masuk ke dalam. Hal ini sekaligus menandakan bahwa sang tamu harus menghormati tuan rumah.

Bagian lantai rumah terlihat kokoh seperti disemen. Namun, tahukah kamu apa bahan dasarnya? Yess, kotoran kerbau. Dicampur tanah liat, hehehe.

Di teras rumah, terdapat atraksi menenun oleh perempuan berusia sekitar 8 tahun. Masih muda banget memang. Saya aja mikir, waktu seusianya udah bisa apa yaa :')))) . Pengunjung juga diperbolehkan masuk dan melihat bagian dalam rumah yang ternyata masih alami sekali. Minim perabotan dan penerangan.

Lanjut, sang tour guide mengajak kami ke area perkampungan yang rumahnya lebih ramai. Ada sebidang tanah lapang yang rupanya sudah disiapkan untuk atraksi berikutnya: Tarian Peresean. Dua orang lelaki bertarung dengan pedang dan tameng tradisionalnya diiringi bunyi musik khas Sasak. Satu orang yang menjadi wasit, memiliki peluit sebagai pertanda tarian dimulai atau berhenti sejenak. Kalau tarian berhenti sejenak, wasitnya akan menari sementara kedua penari/petarungnya bersiap melanjutkan.

Area pertunjukan

Para pemusik

Pembukaan pertunjukan

Tari Peresean
Selesai para pemuda bertarung, pertunjukan dilanjutkan dengan atraksi anak-anak yang menampilkan tarian yang sama. Ini super gemaaaas! Anak-anaknya masih bocah banget aslinyaaa hahahha! Salut sama orang yang sudah bisa mewariskan kesenian tradisional itu ke mereka, juga kepada dedek-dedeknya yang kayak udah paham aja sama tariannya di usia sedini itu (walau kadang pas peluit ditiup, mereka masih berantem :'))) )


Priittt...priiitt..!!
Sudah selesai?

Belum. Selanjutnya, giliran para pengunjung yang berkesempatan 'uji nyali' mencoba tarian tersebut. Dua orang dari rombongan kami akhirnya menawarkan diri untuk tampil. Diiringi sorakan para pendukung plus rombongan lain yang kebetulan hadir, mereka seolah nggak mempedulikan teriknya matahari yang semakin bersinar.

Daeng Kiki vs Daeng Boski


Menjelajahi Desa Ende, pengunjung tidak perlu membayar tiket masuk, retribusi atau semacamnya. Yang diminta hanya keikhlasan pengunjung untuk mendukung pelestarian warisan budaya nusantara tersebut. Jadi, setelah tiga atraksi tadi ditampilkan, sang wasit dari pertandingan pertama kembali tampil menari sambil membawa salah satu tameng untuk diedarkan kepada para pengunjung yang ingin 'nyawer'. Kreatif!


Selain atraksi kesenian, di Desa Ende kita juga bisa membeli langsung produk kerajinan khas Suku Sasak seperti baju, sarung, tas, dan aksesoris lainnya. Tas selempangnya lucu-lucu deh. Kecil, praktis untuk dibawa jalan.

Puas berbelanja (dan ada juga yang ngadem), kami kembali melanjutkan perjalanan ke tempat berikutnya. Agak sedih waktu melihat perubahan raut wajah anak-anak yang mengiringi kami, tapi rupanya mereka tetap bisa dadah dadah ceria sambil menyampaikan pesan, "Semoga perjalanannya menyenangkan!"


Ah, terima kasih banyak Desa Ende! Di balik kesederhanaan penampilan dan kekayaan warisan budayanya, banyak pelajaran dan kesan positif yang bisa dipetik. Semoga lain waktu bisa berkunjung ke sana lagi :)

*All photos taken by Kiky Widiyanto