Thursday, April 14, 2016

Cerita Putri Pena: Darurat

“Seluruh Prajurit berkumpul di Ruang Pertemuan Istana! Keadaan Darurat!”
Pengumuman itu memecah kedamaian sore negeri tempat tinggalku. Negeri ini sangat jarang terlibat perang atau konflik dengan negara lain. Lalu, ada keadaan darurat apa sehingga Yang Mulia memanggil para prajuritnya?
Pintu tempat tinggalku diketuk. Prajurit Angin, Prajurit Lembah, serta Prajurit Air sudah menunggu. Tanpa sempat merapikan ruangan, aku bergegas menuju istana bersama mereka. Dalam perjalanan, kami bertemu Panglima Penyerang yang juga tampak terburu-buru. Ia bahkan belum menyarungkan pedangnya dengan sempurna.

“Semua sudah berkumpul?” Penasihat Yang Mulia memandang sekeliling ruangan yang dipenuhi wajah kebingungan. “Baiklah, akan kuceritakan situasinya.” Ia melihat ke arah Yang Mulia yang terduduk lesu. Yang Mulia mengangguk, mempersilakan Penasihat berbicara.
“Siang tadi aku mendapat laporan dari Penjaga Perbatasan, penduduk di Lembah Biru akan menyerang negara kita. Mereka merasa marah karena semakin lama tidak mendapatkan sinar matahari, tertutup pohon-pohon tua yang ada di Perbatasan Utara…”
Baiklah, aku akan memberi tahumu. Kini aku hidup di Negeri Kilau. Pernah mendengar? Letaknya dua hari perjalanan dari Negeri 1000 Dagang atau sekitar lima hari perjalanan dari Kerajaan Tulis. Wilayahnya tidak terlalu luas, tetapi kehidupan berjalan baik di sini.
Negeri kami terkenal akan kehangatannya. Kehangatan penduduk maupun dalam arti sesungguhnya: cuaca. Berbeda dengan Negeri 1000 Dagang maupun Kerajaan Tulis, Negeri Kilau dianugerahi sinar matahari sepanjang tahun. Anugerah ini tidak membuat penduduknya malas. Sebaliknya, mereka justru sangat giat bekerja. Peradabannya pun sudah lebih maju.
Sinar matahari juga membuat alam Negeri Kilau indah. Hewan-hewan ternak tumbuh sehat dan pepohonan tumbuh subur. Beberapa pohon bahkan sudah berumur ratusan tahun dan terus tumbuh tinggi, seperti pagar alami yang mengelilingi negeri kami.
Pada awalnya, tidak ada yang mempermasalahkan keberadaan pohon tua itu. Walau ada angin kencang, mereka tetap berdiri kokoh. Bahkan beberapa penduduk sering memanfaatkan dahan atau daunnya yang berguguran untuk memasak, membuat peralatan, atau keperluan lainnya.
Sampai suatu hari, seorang pemuda dari Lembah Biru nendatangi Negeri Kilau, ingin menghadap Yang Mulia. Ia meminta Negeri Kilau menebang pohon-pohon di Perbatasan Utara yang menyebabkan sinar matahari tidak bisa sampai ke tempatnya. Keadaan dingin dan lembab tersebut membuat penduduk Lembah Biru mudah terkena penyakit. Mereka juga tidak bisa beraktifitas dengan normal karena suhu udara sangat dingin sementara pakaian mereka tidak cukup tebal. Mereka merindukan kehangatan sinar matahari.
Kedatangan pemuda Lembah Biru itu diterima Panglima Strategi. Ia mencoba menawarkan jalan keluar lain karena pohon-pohon di perbatasan tidak mungkin ditebang. Pohon-pohon itu adalah warisan nenek moyang penduduk Negeri Kilau yang harus dijaga turun temurun. Kalau tidak, bencana besar bahkan kehancuran akan melanda negeri.
“..jadi mereka tetap menginginkan pohon-pohon itu ditebang, atau mereka akan menyerang negeri kita sewaktu-waktu.”
Suasana ruangan mulai memanas. Diskusi terdengar di sana-sini, mencoba mencari jalan keluar yang adil bagi Negeri Kilau maupun Lembah Biru.
“Bagaimana kalau kita menyerang mereka terlebih dahulu?” usul Panglima Penyerang.
“Jangan! Negeri Kilau adalah negeri ya g cinta damai!” Kali ini Panglima Pertahanan yang bersuara.
“Tapi bagaimana kalau kita hanya berdiam diri saja sementara amarah mereka semakin besar? Kau mau mereka mengobrak-abrik negeri kita?”
Sebagai prajurit, prajurit muda pula, aku masih perlu mempelajari banyak hal tentang negeri ini termasuk sistem pertahanannya. Maka kali ini aku lebih memilih diam, menjadi pengamat sekaligus mencoba menyusun strategi. Para prajurit muda lain pun tampaknya memiliki pikiran yang sama denganku. Sesekali di antara mereka melirik Yang Mulia, menunggu titahnya.
“Masalah ini tidak akan menemukan jalan keluarnya jika kita saling merasa pemikirannya yang paling benar,” ucap Yang Mulia akhirnya. Ia membetulkan posisi duduknya. Raut mukanya kembali seperti semula, mampu menimbulkan rasa segan bagi siapapun yang melihatnya.
“Aku sudah memikirkan beberapa hal yang mungkin bisa kita lakukan untuk menyelesaikan masalah ini. Dan ini akan melibatkan banyak Panglima serta Prajurit, termasuk para Prajurit Muda. Itu sebabnya Aku memanggil kalian kemari.”
Kami Para Prajurit Muda saling menatap satu sama lain. Akan dilibatkan? Akan ikut berperangkah kami?
“Sebelum matahari terbit esok pagi, rencana ini harus sudah matang. Dan kuharap, kita bisa membicarakannya dengan kepala dingin.”
Yang Mulia beranjak dari singgasananya, berjalan ke tengah ruangan. Kini semua menatapnya dengan serius, siap menyimak setiap kata yang akan ia ucapkan.

0 Comments:

Post a Comment