Saturday, March 19, 2016

Cerita Putri Pena: Hujan

Hujan lagi.
Entah malam ke berapa Kau mengirimnya ke Kerajaan Tulis. Untuk menemaniku? Sungguh, Kau baik sekali.
Pada dasarnya, aku menyukai hujan. Ia mendatangkan kesejukan. Menghapus kesedihan, terkadang. Coba saja ketika menangis kau berdiri di bawahnya, air matamu akan terhapus bersama rintik-rintiknya.

Aku ingin menjadi seperti hujan. Seorang bijak pernah menggambarkannya sebagai ‘keras dan tangguh menghajar tanah, tapi di sisi lain mendatangkan rasa nyaman’. Dan itulah yang aku rasakan saat hujan datang. Iramanya begitu tangguh membuyarkan kesunyian malam. Namun, pada saat yang bersamaan, perasaan pun akan dibuat nyaman.
Semesta, mengapa Kau mengirimnya lagi? Agar aku tidak kesepian? Sungguh, Kau baik sekali.
Ya Semesta. Belakangan ini, malamku terasa sepi. Seperti ada yang kurang untuk melengkapi datangnya malam. Seperti ada yang sedang hilang.
Kau pasti tahu apa yang kumaksud. Tapi kali ini, aku tidak mau memberitahunya. Sebab, Aku hanya ingin mengatakannya sambil menari bersama hujan. Tapi, itu tidak boleh bukan? Bisa-bisa nanti aku jatuh sakit. Kalau sudah begitu, siapa yang peduli? Mungkin aku malah akan mengacaukan semuanya. 
Sesungguhnya, ada banyak hal yang ingin kutanyakan padamu, Semesta. Mengapa? Mengapa semuanya malah menjadi seperti ini? Tapi sepertinya aku terlalu banyak mengeluh. Dan aku tahu, Kau tidak akan menyukainya.
Seharusnya, aku lebih banyak bersyukur bukan? Atas apa yang telah kau berikan padaku selama ini. Dan menjaganya. Tapi Semesta, maukah kau menjawab seluruh 'mengapa’ itu kapan-kapan? Dan membuat segalanya terasa kembali seperti saat kau memberikannya padaku dulu?
Baiklah, kali ini aku akan menyimpan air mataku. Baiklah, kali ini aku tidak akan menyembunyikannya di bawah hujan. Baiklah, kali ini akupun akan belajar dari hujan. Menjadi sosok yang tangguh, tapi tetap mendatangkan kenyamanan.
Oh ya Semesta, apakah Sang Hujan bisa tersenyum?

0 Comments:

Post a Comment