Friday, March 18, 2016

Cerita Putri Pena: Halo Putri!

Halo Putri! Apa kabar?
Terdengar klise ya. Tapi sejujurnya aku bingung harus mulai menulis dari mana. 
Baiklah, bagaimana kalau dimulai dengan pertemuan tak sengaja kita kemarin di air suci? Sungguh tak disangka ya, kita bisa bertemu lagi di sana. Sedang apa kau saat itu? Bersama para sahabatmu dari berbagai kerajaan dan negara?

Putri Pena, kau tahu, saat itu, sesungguhnya aku ingin  mengajakmu berbincang-bincang. Berdua. Berbincang tentang kita. Namun, Semesta sepertinya belum mengijinkan kita berbincang lebih lanjut.
Bagaimana kabarmu Putri? Memang, selama ini jika aku pergi ke Hutan Hijau, aku selalu menyempatkan diri mampir ke Kerajaan Tulis dan membaca tulisan-tulisanmu di Diarium. Tahukah kau aku terharu? Beberapa tulisan itu ditujukan untukku bukan? Kurasa, kau memang salah satu putri Kerajaan Tulis yang berbakat dan cerdas.
Putri, entah apa yang harus kuucapkan ketika bertemu kembali denganmu saat itu. Setengah tidak percaya kita bisa bertemu lagi. Tanpa sengaja. Meminjam ungkapanmu, semuanya sudah diatur Semesta ya? 
Sepertinya memang begitu. Kau tahu, sehari sebelum aku ke sana, aku tidak berencana singgah di Air Suci. Namun, beberapa sahabat mengajakku. Supaya aku tidak suntuk, ujar mereka. Jadilah aku mengikuti saran itu. 
Aku tidak tahu mengapa malah menulis surat ini kepadamu. Seharusnya kita langsung bertemu lagi saja untuk berbincang bukan? Tapi Putri, sepertinya ada beberapa hal yang harus kukatakan terlebih dahulu kepadamu, sebelum, jika Semesta mengijinkan, kita bertemu lagi.
Pertama, aku ingin meminta maaf kepadamu dari lubuk hatiku. Maafkan aku, Putri Pena. Maafkan segala sikapku selama ini yang telah menyakitimu, baik disengaja maupun tidak. Kau tahu, sungguh, aku sama sekali tidak ada niat untuk melukai perasaanmu. Maka itu, aku bersungguh-sungguh ingin meminta maaf kepadamu atas segala sikapku di masa lalu.
Lalu, ah bagaimana aku harus mengatakannya ya?
Putri, sejak pertemuan kita di Air Suci, aku kembali menjadi pemikir sunyi. Entah kenapa, sejak saat itu ada sesuatu dalam diriku yang seperti bergejolak. Melihatmu kembali, masih tersenyum kepadaku… Aku memikirkan tentangmu. Tentang kita. Sedikit takut, tapi akhirnya aku bertanya, apakah kesempatan itu masih ada?
Ya, Putri Pena-ku. Kurasa aku sudah tertangkap olehmu kini, tidak perlu dikejar lagi.     Hati ini, jiwa ini, raga ini, menyerah. Padamu. Dan kurasa, aku tidak akan lari lagi. Namun jika keinginan itu masih muncul nanti, maukah kau menahanku? Tolong, jaga aku agar tidak meninggalkanmu lagi. Maukah kau? Maukah kau mendampingiku dan lebih sabar lagi menghadapiku?
Baiklah, kurasa sebaiknya aku mengakhiri dulu surat ini. Akhirnya kedua hal penting itu dapat kukatakan padamu, Putri. Tenang, aku tidak terburu-buru menunggu balasan darimu. Kali ini, ijinkan aku belajar dari kesabaranmu. Ya, sungguh, kesabaran dan ketangguhan doamu adalah dua hal yang sangat kukagumi dari sosok seorang putri Kerajaan Tulis sepertimu. 
Senang berjumpa kembali denganmu, Putri. Kuharap aku bisa mendapat kesempatan itu lagi secepatnya. - *
Aku melipat surat yang selalu kujaga itu. Sudah berbulan-bulan kertas penting itu tersimpan dalam salah satu kotak khusus di kamarku. Pengirimnya, Ksatria Tak Berkuda tentu. Entah kenapa ia lebih suka mengganti inisial namanya dengan simbol bintang di akhir suratnya. Suratnya yang kemudian muncul setiap hari dan bahkan nyaris setiap saat. Suratnya yang kemudian menjadi pengusir sepi, pengantar rindu, dan penyimpan rasa sayang. 
Semesta, kau tahu bukan bahwa aku selalu meminta yang terbaik dan secukupnya bagiku? Namun, bila kau mendatangkan yang terbaik itu dalam jumlah yang lebih dari perkiraanku, haruskah aku menolaknya? 
Tolong, ingatkan aku agar tidak berlebihan, Semesta. Dan ingatkan aku pula untuk selalu bersyukur kepada-Mu, apapun itu rencana-Mu. 

0 Comments:

Post a Comment