“AKHIRNYA!”
Itulah ungkapan kebahagiaanku serta pangeran dan putri lainnya saat melihatDiarium untuk pertama kalinya ditempel di pusat Ibu Kota Kerajaan Tulis.
Masih ingat Diarium? Ya, sebuah media baru yang menjadi pusat informasi bagi warga Kerajaan Tulis. Diarium ini adalah media pertama yang ada di Kerajaan Tulis sebagai pengganti ‘pengumuman sang Raja’. Dan kami, aku serta para pangeran dan putri yang diangkat setahun lalu, yang mendapat 'kehormatan’ untuk mewujudkan keinginan besar sang Raja ini.
Pembuatan Diarium ini memakan waktu sekitar sebulan. Dengan bimbingan beberapa paman dan bibi menteri, kami dibagi ke dalam empat kelompok, setiap kelompok harus mengisi dua lembar besar untuk ditempel pada satu papan Diarium. Sebelum ditempel, kami harus menyerahkan bahan-bahan berita kepada Paman Pengumpul, begitu kami menyebutnya. Paman Pengumpul ini yang bertanggung jawab untuk menempelkan semua berita di papan Diarium.
Satu bulan bisa dibilang waktu yang ideal untuk proyek ini. Tidak terlalu sebentar karena kami membutuhkan waktu untuk mengumpulkan berita-berita yang kira-kira penting bagi rakyat Kerajaan Tulis. Namun, tidak terlalu lama pula karena bisa-bisa kami malah bosan kalau terlalu lama mengerjakannya.
Aku dan sembilan orang Pangeran dan Putri berada di kelompok dua. Artinya, berita-berita kami nantinya akan ditempel pada papan Diarium yang terletak di titik selatan pusat Ibu Kota Kerajaan Tulis.
Pada hari yang telah ditentukan, aku dan kesembilan sahabatku memberikan berita-berita kami kepada Paman Pengumpul. Rasa senang dan harapan besar menyelimuti kami. Senang, karena akhirnya kami berhasil memenuhi keinginan Sang Raja dan harapan besar bahwa Diarium kami akan dibaca banyak orang.
Hari itu, rasanya langit lebih cerah dari biasanya. Angin bertiup sejuk, membawa kedamaian hati. Memang, kalau satu tugas berhasil diselesaikan, hidup rasanya satu tingkat lebih indah!
Sayang, kesenangan yang seharusnya kami dapat, malah berubah sebaliknya. Paman Pengumpul mendadak naik emosinya melihat Diarium kami. Ujarnya, kami melakukan kesalahan besar dan tidak melihat bagaiamana Diarium milik kelompok lain. Padahal setahu kami, Diarium yang kami buat sudah sama dengan kelompok lain: ditulis dengan tinta hitam, di atas daun apapun yang tulangnya menyirip, dan boleh dihias dengan buah, bunga, ranting, atau apapun itu asalkan bahannya bisa diperoleh di alam.
Belum habis kebingungan kami, Paman Pengumpul mengancam tidak akan menempelkan Diarium kami di pusat Ibu Kota ini. Puncaknya, ia mengeluarkan ancaman itu sesaat sebelum menempelkannya. Di pusat Ibu Kota. Di mana banyak orang berlalu lalang dan siapa pun yang lewat pasti bisa mendengar 'amukan'nya. Dan setiap yang mendengar, pasti mencuri pandang ke arah kami.
Untung saja Diarium kami tidak dibuang begitu saja!
Kami berusaha mencari informasi ke kelompok lain. Hasilnya? Semua sama. Ditulis dengan tinta hitam dan dibuat di atas daun bertulang menyirip. Lalu, apa yang membuat Paman Pengumpul begitu kesal?
Akhirnya kami menemukan jawabannya dari Paman Menteri Komunikasi. Paman Pengumpul lupa mengenakan kacamatanya saat akan menempelDiarium kami sehingga ia tidak bisa melihat bahwa karya kami ditulis dengan tinta hitam, bukan tinta emas, dan di atas daun bertulang menyirip, bukan menjari. Dengan sedikit tertawa, Paman Menteri Komunikasi menenangkan bahwa pekerjaan kami sudah benar dan mungkin Paman Pengumpul hanya terlalu lelah dengan tugasnya tersebut.
Jadi, masalahnya hanya terletak pada penglihatan Paman Pengumpul? Dan untuk itu kami harus menerima ledakan emosinya di depan rakyat banyak?
Menyadari kesalahannya, Paman Pengumpul akhirnya meminta maaf kepada kami dan langsung menempelkan Diarium sesuai papan yang telah disiapkannya. Rakyat bisa mendapatkan informasi terbaru seputar Kerajaan Tulis dan hal-hal penting lainnya dengan membaca Diarium kami.
“AKHIRNYA!” teriakku dan kesembilan sahabatku.
Kalau kau sempat berkunjung ke Kerajaan Tulis, mampirlah ke pusat Ibu Kota. Ada empat papan di sana dan di situlah Diarium kami berada. Diarium pembawa berita, Diarium pembuka cakrawala.
0 Comments:
Post a Comment