Wednesday, February 17, 2016

Cerita Putri Pena #1

Pernahkah kau bertemu seseorang dan merasa, sepertinya orang ini memang dikirimkan untukku? Aku pernah.
Namaku Putri Pena. Aku tinggal di Kerajaan Tulis di mana sebagian besar masyarakatnya dianugerahi kemampuan untuk merangkai kata-kata. Meski tinggal di lingkungan kerajaan, aku memiliki beberapa teman dekat. Kami sering bertukar pikiran atau sekedar menghabiskan waktu bersama. Ada Putri Sastra, Putri Dongeng, Putri Naskah, Pangeran Filsafat, Pangeran Pantun, dan ada beberapa putri serta pangeran lagi yang cukup dekat denganku. Oh ya, aku juga memiliki sahabat dari Kerajaan Maroon bernama Putri Citra. Aku cukup sering mengunjunginya, begitu pula sebaliknya. Bagiku, ia adalah sahabat terbaikku sejauh ini. Kami sering berbagi cerita mengenai hal-hal yang tak bisa diceritakan kepada orang lain.
Hampir semua teman dekatku memiliki keahlian menulis sesuai namanya. Putri Dongeng misalnya, ia pandai membuat cerita yang membangkitkan imajinasi pendengarnya. Ia sering menulis kisah-kisah yang mengandung nilai moral. Anak-anak gemar membaca karya-karyanya. Atau teman dekatku sejak kecil, Pangeran Filsafat. Walaupun usianya masih tergolong muda, orang-orang sering dibuat kagum oleh pemikirannya yang cerdas, bijak, dan wawasannya yang luas. Aku sendiri, aku masih belum punya keahlian khusus dalam menulis. Aku suka berjalan-jalan menikmati keindahan alam dan biasanya aku akan menuliskan hal-hal menarik yang aku lihat di sekitarku.
Sampai suatu hari, aku tersesat di Hutan Hijau dan bertemu seorang Ksatria muda dari Negeri 1000 Dagang yang juga mengalami nasib sepertiku, terjebak di sana.
Awalnya, hanya rasa takut yang ada dalam benakku. Berulang kali aku mencoba menulis untuk mengalihkan perasaan itu, namun gagal. Aku takut karena… yah, aku kan tidak mengenal ksatria itu. Selain Sang Pencipta, nampaknya tidak ada yang mengetahui nasibku untuk selanjutnya.
Ketakutan itu mulai berkurang saat Ksatria Tak Berkuda, begitu ia menyebut dirinya, mulai rajin mengajakku berbincang-bincang. Aku, yang memang tidak terlalu terbuka jika berkomunikasi secara lisan seperti itu, hanya menanggapi perbincangan sekenanya. Tapi, karena sepertinya kami akan terjebak untuk waktu yang tidak sebentar, aku mulai membuka diri terhadapnya.

0 Comments:

Post a Comment