Sunday, February 21, 2016

Food Review: Bubur Paramantina (a.k.a Burfay) Jatinangor

Saya pertama kali mengenal bubur ini ketika masih kuliah, mungkin tahun 2010-an. Lokasinya mudah dijangkau, kalau dari arah kampus Unpad itu persis di samping kantor kecamatan Jatinangor. Masa-masa itu, tempat ngebubur ini juga berfungsi ganda sebagai tempat kongkow sebelum ada kelas.

Sekilas, bubur ini terlihat biasa saja. Tapi ketika sudah dihidangkan (apalagi semangkuk penuh dan pakai ati ampela), saya jadi bisa merasakan istimewanya.

Berbeda dengan bubur Bandung / khas Sunda pada umumnya yang memakai kuah kari, bubur ini nggak diberi tambahan kuah lagi karena memang sudah encer. Terlalu encer malah, kalau menurut sebagian orang. Menurut saya, justru inilah 'seni'nya makan bubur, nggak perlu terlalu banyak mengunyah! :))

Satu porsi bubur diberi topping ayam suwir, potongan cakue, bawang goreng, dan seledri. Kadang bisa menambah atau ampela atau telur rebus, tapi perlu datang pagi sekali supaya kebagian.

Supaya lebih nikmat, dan inilah yang membedakannya dengan bubur lain yang pernah saya coba, para pecinta burfay biasa menambahkan cabai bubuk. Sedikit aja udah bisa membuat huh hah kepedesan. Cocok buat pecinta kuliner pedas dan hati-hati buat yang nggak terlalu suka pedas :)) Cabai bubuk itu sendiri, dengan takaran yang tepat/sesuai selera, justru menambah cita rasa dari sang bubur. Kalau sudah kepedesan, bisa ditambah kecap (tapi saya nggak suka bubur pakai kecap hehe) atau emping (nah ini baru enak).

Saat ini, satu porsi bubur biasa (tanpa ati ampela / telor) dihargai Rp 10.000,00 dan empingnya Rp 1.000,00 per bungkus. Walaupun kayaknya sekarang mereka masih buka sampai jam 9-an (dulu jaman masih kuliah, jam setengah 9 aja suka kehabisan), akan lebih enak menikmati bubur ini di pagi hari ketika suasana masih sepi.

Selamat mencoba!
RY

0 Comments:

Post a Comment