Wednesday, February 17, 2016

Cerita Putri Pena #2

‘Bertahan hidup di Hutan Hijau bukanlah hal yang mudah. Apalagi jika tidak ada persiapan sebelumnya,’ begitu cerita Pangeran Filsafat padaku sebelum kami berjalan-jalan ke tempat ini dan kemudian aku tersesat. Aku menyesal saat itu tidak terlalu mendengarkan perkataannya. Dan kini, aku mengakui perkataan pangeran bijak tersebut benar adanya. Apalagi aku harus bersama seseorang yang benar-benar baru aku kenal.
Aku tidak tahu harus bersyukur atau bagaimana menghadapi kenyataan ini. Nyatanya, terjebak di Hutan Hijau bersama Ksatria Tak Berkuda tidak seburuk dugaan awalku. Walau terlihat dingin jika sedang tidak berbicara, ksatria yang jago berburu ini pandai membuatku tersenyum, bahkan tertawa. Bersamanya, Hutan Hijau terasa lebih bersahabat untuk ditinggali. Ia juga selalu mampu membuatku merasa nyaman bila berada di dekatnya. Perasaan apa ini?
Aku tidak pernah menghitung hari selama berada di Hutan Hijau. Yang aku tahu, jika mentari terbit, burung-burung di sekitar tempat kami berteduh akan berkicau dengan ramainya. Lalu aku melihat Ksatria Tak Berkuda tersenyum di sebelahku dan mengucapkan “Selamat Pagi, Putri” dengan nada khasnya yang hangat. Seketika kantukku hilang, semangatku terkumpul, dan aku siap merajut hari bersamanya. Jika malam tiba, Ksatria Tak Berkuda nyaris tak pernah lupa mengingatkanku untuk tidak tidur terlalu larut karena terlalu asyik menulis. Tahukah apa yang selalu aku tulis setiap malam, Ksatria? Tentangmu. Setiap hari, selalu saja aku menemukan hal menarik tentangmu. Rasanya tak pernah bosan merangkai kalimat untuk mengungkapkan betapa aku mengagumi ksatria yang satu ini. Kemudian ia akan mengucapkan selamat malam dan mendoakan agar tidurku nyenyak dan bermimpi indah. Ia sendiri baru akan tidur setelah memastikan keadaan di sekitar kami aman dan aku sudah benar-benar terlelap. Bagaimana bisa aku tidak mengagumimu jika kau begitu membuatku tidak ingin kehilngan dirimu?

0 Comments:

Post a Comment