Wednesday, October 24, 2018

The Wonder Weeks App: Aplikasi Buat Ibu yang 'Nggak Pinter-pinter'

Halooo Ibu! Welcome to the new world! The world of joy, happiness, struggle, dan harus banyak banyak banyak sabar!

Tiga bulan pertama menjadi seorang Ibu ternyata jauh lebih struggle dibandingkan tiga bulan masa percobaan pekerja baru. Banyak pelajaran baru untuk memahami seorang 'manusia' yang nggak pernah terpikirkan sebelumnya.

Kalau masa percobaan kerja kita bisa menganalisis apa yang salah dan gimana mengatasinya, masa-masa awal memiliki anak terkadang sulit dipahami dan nggak melulu sesuai teori. Pada satu hari sang anak bisa tidur nyenyak di stroller, besoknya sama sekali nggak mau ditidurin di stroller, kasur atau di manapun, maunya digendong. Di hari lain menyusuinya tiap 2 - 3 jam, ada satu hari di mana sang anak rasanya harus disusui terus karena nggak kenyang-kenyang. Ada satu periode sang anak bisa tidur nyenyak semalaman, periode berikutnya tiap malam sang anak menangis tanpa sebab dan entah apa yang harus dilakukan untuk segera menenangkannya.

Durasi tidur malam sang anak adalah salah satu tantangan paling menguji kesabaran. Belakangan ini, Kanaya lagi susah tidur nyenyak di malam hari entah kenapa. Disusui sudah, popok diganti kalau basah sudah, diajak main sudah, tetaaaap aja matanya 'on'. Parahnya kalau sudah menangis, tangisannya menyayat hati. Nggak pake intro suara melemah dulu, langsung ke nada tinggi seolah abis diapain gitu :')).

Keadaan mirip seperti ini pernah terjadi di masa growth sprut-nya. Bedanya, saat itu dia masih mau menyusu. Atau setidaknya, menempelkan mulutnya untuk menyusu. Kali ini tidak. Terkadang dia menolak.

Ibu yang nggak pinter-pinter ini pun gugling sana-sini mencari berbagai kemungkinan penyebab. Kebanyakan tidur pagi/siang? Nggak juga karena di pagi-siang pun sulit ditidurkan. Kolik? Sepertinya juga bukan karena setiap abis menyusu Kanaya bisa sendawa, perutnya nggak kembung, dan saat menangis badannya nggak melengkung.

Akhirnya, sampailah saya pada satu kemungkinan: Fase Wonder Week. Fase ini menggambarkan periode perkembangan bayi yang meningkat tajam. Mau pinter sesuatu, kalau bahasa orang tua mah.
Jika dihitung manual dari hari kelahirannya, wajar kalau Kanaya memasuki Wonder Week ini. Tepatnya, di fase 'events', belajar mengenali sebab akibat yang sederhana. Penasaran lebih lanjut mengenai pertumbuhannya, saya pun 'bertemu' aplikasi yang bisa membantu menerjemahkan fase menakjubkan ini: The Wonder Weeks App.


Gambar bayinya gemaas!

The Wonder Weeks adalah aplikasi mobile yang memuat berbagai infomasi mengenai fase wonder week sang anak. Data disajikan dalam bentuk chart dan disertai penjelasan untuk setiap fasenya.

Kalau sang anak sedang memasuki suatu fase, orang tua akan mendapat gambaran mengenai apa yang sedang dialami sang anak, kemampuan barunya, pertanda yang ditunjukannya, dan hal-hal yang bisa dilakukan orang tua untuk menunjang tumbuh kembangnya tersebut.

Untuk memulai penggunaan aplikasi ini, kita harus download dulu di ponsel. Kalau di Google Play, harganya Rp41.000,00 (note: ada blogger lain yang bilang, bisa juga akses via websitenya kalau mau gratis. Tapi ribet sih menurut saya kalau harus bolak-balik buka website hehe). Setelah itu, kita diminta memasukkan data anak: Nama, jenis kelamin, dan due date. Kenapa due date dan bukan tanggal lahirnya? Karena ternyata, perkembangan mental sang anak sudah dimulai ketika ia mulai 'terbentuk' sebagai janin. Selengkapnya bisa baca penjelasan di appsnya ya :)))

Selain tampilannya yang sederhana, aplikasi ini memiliki beberapa fitur bermanfaat seperti chart leap untuk mengetahui timeline wonder weeks ini, alarm untuk mengingatkan sang Ibu bersiap menghadapi fase ini, beragam artikel seputar wonder weeks (yang bisa diakses langsung dari aplikasinya, e-book atau beli printed book-nya), sampai notes untuk tempat curhat atau sekadar mencatat perkembangan sang bayi.

Meski baru meng-install-nya beberapa jam lalu, saya nggak ragu merekomendasikan aplikasi ini untuk dimiliki para ibu baru. Supaya nggak bertanya-tanya aja gitu kalau anaknya mendadak sering cranky tengah malam. Siapa tau sang anak memang lagi mengalami fase wonder week sehingga kita bisa menemaninya melalui fase tersebut dengan tepat.

Semoga rekomendasi aplikasi ini bisa membuat kita setingkat lebih cerdas ya Buibu. Kalaupun masih merasa nggak pintar juga dalam menangani anak, ingatlah, sang anak lebih membutuhkan seorang ibu yang bahagia dan selalu ada untuknya.

Selalu tersenyum di depan sang anak ya, Bu! 

Sunday, October 21, 2018

Persiapan Persalinan

Setiap Kanaya terbangun sampai subuh, terutama melewati pukul 04.20, saya teringat kembali masa-masa untuk bertemu dengannya. Ada rasa ngilu bercampur haru saat memori mulai dari ke rumah sakit sendiri sampai melihat tubuh utuhnya keluar terputar di kepala.

Persalinan, normal maupun caesar, adalah fase pendahuluan perjuangan seorang perempuan sebelum menjadi ibu. Dibutuhkan persiapan fisik, mental, logistik, dan finansial agar proses ini dapat dilalui dengan baik. Kalau versi saya, inilah beberapa persiapan yang bisa dilakukan menjelang persalinan, berdasarkan pengalaman dan gugling sana-sini.

1. Makan Makanan Bergizi
Persiapan ini sebaiknya dilakukan dari awal dinyatakan hamil. Bagaimanapun, perkembangan janin sangat bergantung dari apa yang kita konsumsi.

Selama hamil, saya juga nggak mendadak menjalani pola makan yang sehat banget. Micin dan gorengan masih (khilaf) dikonsumsi walau kadang bisa membatasi jumlahnya.

Pola makan 4 sehat 5 sempurna adalah kuncinya. Kalau tidak memungkinkan diterapkan setiap makan (yakali tiap abis makan minum susu ), minimal pola ini bisa dilakukan dalam satu hari. Jadi, dalam satu hari usahakan ada asupan karbohidrat, protein, sayur, buah, dan susu.

Semual apapun, cobalah dihadapi dan tetap paksakan diri untuk makan/minum sesuatu. Kalau lagi mual atau malas makan, saya biasanya memilih makan buah seperti apel/pir/jeruk/pisang dan minum air putih agak banyak. Nggak mengenyangkan sih, tapi setidaknya janin tetap menerima asupan.

Bila dokter memberikan vitamin (biasanya asam folat) dan susu khusus untuk ibu hamil, silakan dikonsumsi rutin bila dirasa perlu. Awalnya saya nggak rajin mengonsumsi keduanya, tapi setelah baca-baca literatur, insyaAllah asam folat dan susu ini bisa memberikan tambahan manfaat bagi pertumbuhan janin. Selain itu, rajin minum air kelapa murni dan makan/minum jus kurma juga baik untuk kesehatan selama masa kehamilan dan menjelang persalinan.


2. Jalan Kaki dan Senam Hamil
Dua teman yang sudah melalui masa persalinan lebih dulu menyarankan agar saya rutin berjalan kaki pagi dan sore. Selain menjaga kebugaran, olahraga ringan ini konon dapat membantu memudahkan persalinan normal.

Sejujurnya, saya sendiri belum sempat melakukan jalan kaki pagi-sore ini secara rutin. Sebagai gantinya, kalau di rumah saya rutin jalan kaki dari kamar ke dapur (ngambil cemilan 😂 ) , dan kalau sedang bekerja, saya masih ikut turun ke lapangan selama kondisi fisik memungkinkan.

Untuk senam hamil, saya juga baru ikut sekali, itupun setelah usia kandungan 35 minggu. Idealnya, senam bisa rutin dilakukan setelah kondisi kandungan di atas 30 minggu. Ini nggak wajib sih, tapi menurut saya, senam hamil memberikan kita wawasan mengenai pose-pose yang bisa memudahkan persalinan, menguatkan posisi janin, dan tips trik bernafas saat persalinan tiba. Jadi, usahakan ikut minimal sekali ya, Buibu!

3. Menyiapkan Kebutuhan Bayi & Ibu
Ini persiapan kesukaan sekaligus sedikit membingungkan bagi saya hehehe. Senang, karena akhirnya bisa membeli ini itu untuk bayi sendiri sekaligus bingung, apa saja peralatan yang wajib, sunah, dan sebenarnya nggak perlu untuk sang bayi. Detil perlengkapan ini akan saya bahas tersendiri ya!

Menyiapkan kebutuhan bayi dan Ibu (baca: belanja-belanjanya) sebaiknya dimulai sejak usia kandungan memasuki tujuh bulan. Pada usia tersebut, kondisi janin cenderung lebih stabil, semakin kuat, dan Ibu belum terlalu lelah untuk 'berburu'. Pastikan kita tahu peralatan apa yang harus disiapkan untuk menyambut kehadiran sang buah hati. Bisa dengan gugling, atau bertanya kepada mereka yang sudah lebih berpengalaman.

Jika semua peralatan untuk bayi dan Ibu sudah terpenuhi, mulailah packing untuk persalinan. Saya saat itu menyiapkan dua tas. Satu tas diaper bag khusus untuk baju bayi dll dan satu tas biasa untuk baju dll bagi saya dan suami. Untuk persalinan normal, estimasi menginap di rumah sakit adalah sehari semalam, sementara persalinan sesar memakan waktu sekitar tiga hari. Namun, beda rumah sakit/klinik bisa beda kebijakan ya! Sebaiknya, tanyakan dulu kepada dokter kandungan mengenai durasi waktu menginap ini supaya barang yang dibawa tidak kurang, tetapi juga tidak berlebih.

4. Mengenal Dunia Bayi & Parenting
Dunia bayi adalah dunia yang unik. Memahaminya nggak bisa di-benchmark dengan pengalaman pribadi karena saya nggak tahu waktu bayi seperti apa 😆. Untungnya, sekarang banyak situs, akun Instagram atau aplikasi mobile yang bisa membantu kita, para calon orang tua baru, untuk memasukinya. 

Selain dunia bayi, dunia parenting menurut saya juga wajib dipelajari supaya kita lebih siap. Berikut beberapa rekomendasi situs/akun Instagram/aplikasi seputar dunia bayi dan parenting:

- Ibupedia (Wajib follow! Instastorynya update setiap hari dan terhubung langsung dengan link ke websitenya. Jadi kita bisa pilih artikel yang mau dibaca hari itu tanpa repot buka dari homepage-nya.)
- Parentnesia
- Alodokter (Download aplikasinya deh, lumayan bisa chat gratis sama dokter ketika merasa ada sesuatu yang membuat si kecil terlihat kesakitan)
- Parenting.co.id
- Chai's Play (Bingung apa yang harus dilakukan kalau bayi sedang 'on'? Chai's Play ini memberikan rekomendasi aneka permainan sederhana sesuai usia anak kita. Download juga aplikasinya ya)
- Kinedu (Kurang lebih sama seperti aplikasi Chai's Play. Bedanya, di aplikasi ini terdapat milestone yang berguna untuk memantau pertumbuhan sang anak. Kadang bikin galau sih kalau sang anak belum bisa mencapai milestone-nya. Tapi itu menjadi motivasi untuk tetap semangat bermain dan belajar bersamanya)
- Rabbithole (Instastorynya belakangan lagi sering share mengenai attachment parenting atau tips pengasuhan lainnya)
- Herviewfromhome (Lebih berisi curhat sharing para Ibu di seluruh dunia mengenai dunianya yang berubah setelah memiliki anak. Kalau nggak baperan, boleh follow loh)
- Bonus: follow hashtag #millenialparenting juga untuk update seputar isu parenting zaman now hehehe 

Beberapa artikel mengenai dunia bayi atau parenting kemungkinan akan bertolak belakang antara yang satu dengan yang lain. Bijaklah dalam menanggapinya dan pastikan tips yang diterapkan sesuai dengan kebutuhan bayi kita sendiri. 

5. Rajin Berkomunikasi
Semakin mendekati hari persalinan, saya sering 'ngobrol' dengan janin sambil mengusap-usap perut. Awalnya agak kagok memang, tapi kalau di rumah lagi sendirian, ternyata asik juga. Serasa ada yang menemani hehehe.

Komunikasikan apa saja. Kegiatan kita, perasaan kita, apa yang kita makan, apapun. Saya sering 'meminta'nya tetap sehat selama berada di dalam sampai waktunya tiba dan ia mudah dilahirkan nantinya. Dan, tak jarang, saya juga menyampaikan harapan agar ia 'keluar' di tanggal 12, angka favorit saya. Konon hal ini menjadi semacam sugesti positif bagi sang janin dan bisa saja terjadi. Jadi, sering-seringlah mengobrol dengannya ya!

6. Berdoa
Yesss, tentu ini super wajib hukumnya Buibu! Baik di awal, tengah, maupun akhir masa kehamilan, berdoa tidak boleh putus kita panjatkan. Karena pada akhirnya, manusia berencana dan Tuhan yang menentukan, bukan? 

Itulah enam tips menyiapkan persalinan versi saya. Bagaimana dengan pengalaman Buibu yang sudah mengalaminya juga? Share di comment yuk! 😊

Sunday, July 29, 2018

Pengalaman Melahirkan

"Bu, kok di akta kelahiran aku ditulisnya 'abnormal'? Bukannya aku normal normal aja ya?"

"Ya kan dulu kamu keluarnya setelah dibantu pakai alat.."

Cerita Ibu kemudian terus mengalir mengenai proses kelahiran saya. Cerita yang diulang beberapa kali sampai rasanya saya bisa membayangkan situasi saat itu.

Pengalaman Ibu dalam melahirkan saya secara tidak langsung berpengaruh pada kondisi psikis. Sejak melihat dua garis merah pada test pack dan dinyatakan positif hamil oleh dokter, saya selalu bertanya-tanya, akan seperti apa pengalaman melahirkan nanti?

Untungnya, saya memiliki waktu sekitar sembilan bulan atau 39 minggu untuk menyiapkan segala sesuatunya. Baik fisik, mental, juga material dan finansial agar kelak sang buah hati dapat hidup sehat nan bahagia. Tapi memang, persiapan mentalnya yang lebih banyak sih dibandingkan fisik. Alias, lebih banyak baca teori tentang kehamilan dan persalinan aja dibanding mempraktikannya langsung! :__)))

Contoh nyatanya, saya baru mengikuti senam hamil di usia kandungan memasuki 37/38 minggu. Ini pun sekali-kalinya aja ikut, supaya ada sedikit wawasan saat persalinan nanti. Padahal kata teman saya yang sudah lebih dulu melahirkan, "Semua yang diajarin di kelas senam hamil itu lupa kalo udah masuk ruang bersalin!"

Menurut dokter, HPL saya diprediksi jatuh pada tanggal 17 Juli 2018. Bagus aja sih, jadi bisa mulai mengambil cuti hamil-melahirkan setelah Lebaran. Dan kalau dihitung hari kalender, cuti ini akan berada di masa lagi hectic-hecticnya kerjaan hehehehe. Saya juga bukan pecinta tanggal cantik, jadi mau melahirkan kapan pun oke saja buat saya. Tak perlu dipercepat atau diperlambat kecuali kalau alasannya kesehatan.

Namun diam-diam, saya sering berbisik kepada sang buah hati saat ia masih ada di dalam kandungan. Supaya ia 'keluar' di tanggal 12, tanggal yang sama dengan hari lahir saya. Tentu bisikan ini nggak serius-serius amat, sekali lagi yang terpenting adalah kami dalam keadaan selamat dan sehat saat persalinan, kapan pun tanggalnya.

Semakin mendekati HPL, kecemasan semakin meningkat. Sayangnya, kekhawatiran akan persalinan ini masih diiringi kemageran untuk melakukan berbagai hal yang konon bisa-mempercepat-dan-memperlancar-proses-persalinan. Beberapa kali suami menyarankan untuk mengepel lantai rumah sambil berlutut, tapi saya lebih memilih membersihkan lantai dengan vacuum cleaner. Ketika bisa bangun pagi dan ingin jalan kaki, eh cuaca malah hujan deras. Intinya, level kemageran pun malah meningkat.

Sampai akhirnya, saat yang dinantikan itu muncul. Ketika Ibu dan Ibu Mertua sedang menonton TV di ruang keluarga. Ketika suami dinas ke luar kota selama dua hari. Ketika saya lebih memilih gogoleran di kamar setelah Maghrib karena perut agak mulas.

Seperti biasa, kalau suami dinas kadang saya suka nitip 'oleh-oleh'. Malam itu, sambil gogoleran pun kami saling berkirim WA untuk mengupdate kabar. Saya masih sempat nitip beberapa komik dan novel, sementara suami menanyakan kabar sang buah hati kami diiringi pesan, "Nanti keluarnya nunggu Ayah ya, Sayang..."

Rasa mulas muncul timbul tenggelam. Kontraksi palsu nih, pikir saya. Sejujurnya nggak terlalu paham juga sih bedanya kontraksi yang asli dan palsu, tapi selama ini rasa mulas memang hanya muncul sekali dalam sehari. Saya juga sudah download aplikasi pencatat interval kontraksi, tapi rasanya kok nggak terlalu membantu ya :)).

Semakin malam, gerakan sang buah hati semakin aktif. Tendangannya kuat terasa walau sudah saya elus-elus perut untuk membuatnya sedikit tenang. Gerakannya menurun. Saya berusaha tidur cepat.

Sampai tiba-tiba....

...Ada satu tendangan yang rasanya lebih kencang dari biasanya. Menekan bagian bawah tubuh saya...

...dan tak lama, keluar cairan dari bagian tersebut.

Sedikit kaget, saya ke kamar mandi untuk memastikan. Bening, tidak ada flek atau apapun. Dokter kandungan yang memeriksa saya pernah berkata, ketuban yang pecah biasanya akan diiringi semacam flek atau darah. Bila itu terjadi, kita harus segera ke rumah sakit untuk mendapat tindakan lebih lanjut.

Karena cairan yang keluar tadi tidak diikuti zat apapun, saya berusaha berpikir positif.  Sedikit dilema juga sih, karena sepertinya bukan urin.

Selang beberapa menit, cairan kembali keluar tanpa mampu saya tahan. Jangan panik, jangan panik, jangan panik. Di tengah sedikit kekhawatiran (dan untungnya masih ada kewarasan), saya akhirnya memutuskan: berganti baju dan bersiap ke rumah sakit dengan hanya membawa HP, dompet, dan buku pink.

Untung nggak kerasa mulas atau apa! .___.

Dengan mencoba tetap tenang, saya berpamitan kepada kedua Ibu yang terlihat bingung. Saya nggak bisa membonceng mereka ataupun menyetir, jadi opsi ke rumah sakit sendiri naik motor harus diambil. Saya hanya meminta tolong untuk menyiapkan tas bersalin yang sudah disiapkan sebelumnya dan memberitahu suami bahwa sepertinya ia harus pulang malam ini (dari jadwal semula pulang besok sore).

Sampai di UGD, para suster jaga nggak kalah heran melihat saya masih bisa struggle naik motor sendirian. Apalagi ternyata sudah positif cairan yang keluar tadi adalah air ketuban. Yang sedikit mengesalkan, sinyal di rumah sakit malam itu jelek sekali sehingga saya sedikit kesulitan memberi kabar kepada para Ibu. Untungnya Ibu dan Ibu mertua akhirnya tiba di rumah sakit dengan diantar teman suami.

Saya sendiri langsung diajak ke ruang bersalin untuk diobservasi kondisi sang buah hati. Sudah bukaan satu ternyata. Alhamdulillah detak jantungnya masih terbilang bagus sehingga peluang saya untuk melahirkan normal masih ada. Saya pun dipindahkan lagi ke ruang perawatan untuk istirahat sambil menunggu bidan datang.

Dua jam setelah masuk ruang perawatan, bidan memutuskan untuk menginduksi saya melalui obat yang diletakkan di bawah lidah. Bagian ini nggak ada di artikel-artikel persalinan yang saya baca, jadi saya masih polos ketika mengonsumsi obat tersebut.

"Nanti kita lihat lima jam lagi apakah bukaannya udah lengkap. Kalau belum, nanti ditambah obatnya," kata mbak bidan. Saya iyain aja sambil mencoba melanjutkan tidur.

Ternyata nggak sampai lima jam pun...

GUSTI! PERASAAN APA INI???

Kadang ada, kadang hilang..makin lama intensitas nyerinya makin kuat. Inikah yang disebut 'gelombang cinta'? :___)))

Kalau mau tahu gimana rasanya, bayangkan perasaan ketika datang bulan, dikalikan beberapa kali lipat. Tapi kadang hilang, makanya mungkin itu yang membuatnya disebut 'gelombang'.

Beberapa kali saya hampir menyerah menghadapi gelombang itu. Bidan yang seharusnya dipanggil ketika bukaan sudah nyaris lengkap, terpaksa dipanggil tiga kali untuk mengecek progressnya. Beruntung, Ibu dan Ibu Mertua setia menemani di ruang perawatan. Apalagi Ibu, bersedia digenggam tangannya super erat oleh saya ketika gelombang itu datang. Huhu..ku merasa berdosa udah mau punya anak gini masih ngerepotin Ibu :____(

Entah karena lelah dipanggil terus atau apa, setelah tiga jam sang bidan akhirnya memutuskan untuk memindahkan saya ke ruang bersalin. Padahal masih belum ada rasa mulas. Tapi memang, pembukaannya tergolong berjalan cepat ternyata.

So, here we go. Ruang bersalin. Masih didampingi Ibu dan rasa gelombang yang makin menjadi-jadi.

Ketika akhirnya rasa mulas datang, bidan dan suster mulai bersiap. Menyuruh saya mengejan sekuat tenaga. Meminta saya membayangkan hal-hal mengesalkan agar kekuatan untuk mengejan semakin besar. Yah kalo lagi kondisi begitu mana bisa ingat sih Mba :____)))

Singkat cerita, saya berusaha mengejan sambil meracau. Nyaris satu jam lebih proses ini karena saya sering kekurangan nafas. Sampai pukul 04.00, akhirnya suami tiba di ruang bersalin. Dengan beberapa pertimbangan, saya memutuskan tetap di ruang bersalin bersama Ibu.

Mungkin memang benar ya kalau janin itu bisa 'mengerti' keinginan kita. Pukul 04.20, sang buah hati akhirnya terlahir ke dunia dengan selamat sentosa. Tanggal 12 Juli, seperti keinginan ibunya yang pengen 'tanggal 12', plus setelah ayahnya datang, seperti keinginannya yang pengen 'ditungguin'.

Melahirkan bayi adalah pengalaman luar biasa, apalagi jika baru pertama kali mengalaminya. Terlepas dari semua drama selama kontraksi - persalinan, saya sangat bersyukur karena Yang Maha Kuasa mempercayakan kami -- saya dan suami -- untuk menjadi orang tua dari seorang putri cantik nan sehat yang selanjutnya kami beri nama "Kanaya Mahira Sakti".

Selamat datang di dunia, Kanaya! Terima kasih telah hadir mewarnai kehidupan Ayah dan Ibu 😊

Wednesday, May 2, 2018

"Terima Kasih.."

Pernah nggak menjadi panitia suatu acara, pesertanya sebagian besar mahasiswa, dan kamu kebagian menjadi seksi konsumsi yang membagikan snack secara langsung kepada para peserta? Kalau belum, cobain deh.

Suatu hari, saya melihat sebuah fenomena. Bukan sebagai panitia, hanya mengamati situasi yang saya gambarkan tadi. Di sebuah acara, panitia membagikan snack box kepada para peserta yang sebagian besar mahasiswa itu. Entah pesertanya kelaperan belum makan, pusing banyak tugas, abis berantem sama pacarnya atau gimana, SEBAGIAN BESAR dari mereka menerima kotak dengan muka lempeng. Tanpa ucapan "Terima kasih" keluar dari mulutnya.

Nggak usah ditanya gimana perasaannya panitia yang mungkin udah gedabrukan nyiapin acara itu, saya yang liat fenomena ini aja kzl sendiri.

Kenapa sih susah banget mengucapkan terima kasih? Atau sekedar ngasih senyum?

Helloooow..bilang 'terima kasih' itu gampang banget loh! Variasinya juga banyak. 'Makasih', 'thank you', 'tengs', 'suwun', sebutin deh pake bahasa yang dikuasai! Bahkan pakai bahasa nonverbal semacam senyuman juga nggak papa!

Mengucapkan 'terima kasih' adalah pelajaran memberi apresiasi yang paling sederhana, tapi bisa berefek besar. Membuat orang merasa dihargai, memotivasi orang untuk terus melakukan kebaikan, bahkan siapa tau, bisa memperbaiki mood yang sedang kacau. Menerima ucapan 'terima kasih' yang tulus itu bisa menjadi obat pereda lelah, you know :')

Maka..hayuuuk adik adik, kakak kakak, bapak ibu semua... kita biasakan...mengucapkan 'terima kasih' untuk sesederhana apapun hal baik yang kita terima atau lihat. Nggak perlu laah rasanya..buku setumpuk-tumpuk untuk tau gimana cara mengucapkan 'terima kasih' yang tulus. Cukup mulai dari diri sendiri, sering-sering mengapresiasi, dan lama-lama kebiasaan ini akan terbentuk dan (semoga) menular.

Jadi, sudah mengucapkan 'terima kasih' untuk siapa hari ini?

Terima kasih sudah membaca ya ;)

This entry was posted in

Tuesday, January 16, 2018

Oleh-oleh dari Desa Ende

Awal tahun 2018 sebelum sempat menyusun resolusi, saya berkesempatan mengunjungi salah satu pulau yang menjadi "10 Destinasi Wisata Unggulan Indonesia": Lombok. Meski dalam rangka business trip, kunjungan ini sekaligus menambah daftar baru pulau/kepulauan di Indonesia yang akhirnya bisa disinggahi.

Selain wisata pantai dan alamnya yang memang cantik, Lombok menyimpan warisan budaya yang masih terpelihara hingga kini. Mampirlah sejenak ke Desa Sasak Ende. Desa yang masih bernuansa asli, bahkan nyaris minim tersentuh teknologi masa kini.

Tiba di Desa Sasak Ende, kami (saya dan rombongan) disambut oleh gapura selamat datang berbentuk atap rumah Mataram yang khas. Beberapa bapak berseragam yang sebelumnya duduk mengobrol di gazebo dekat gapura, tersenyum menyambut. Salah satunya langsung sigap menghampiri, menjadi tour guide kami.

Selamat Datang!
Saya tidak memiliki gambaran sama sekali mengenai desa ini. Yang ada di benak saya, kondisinya mungkin kurang lebih sama dengan di Sukatali, desa nenek moyang. Kondisi badan yang sedang hamil muda juga membuat saya nggak terlalu excited untuk menjelajah. Ditambah jalanan yang cukup nanjak di area masuknya, maka pertanyaan pertama saya kepada sang tour guide adalah, "Berapa lama kita akan keliling?" *Belum apa-apa udah ngos-ngosan* 

Kelelahan saya mulai berkurang setelah berjalan beberapa meter dari gapura masuk tadi. Sekelompok anak kecil memakai baju adatnya, duduk dan kembali menyapa kami ramah, "Selamat dataaang!!" Otomatis, suasana hati ikut ceria melihat semangat mereka.

Belum sampai lima menit berjalan, ternyata kami diajak ke pemberhentian pertama: salah satu rumah adat Suku Sasak Ende. Rumah ini memang dijadikan obyek bagi wisatawan untuk melihat lebih detil sekaligus masuk ke dalam bagi yang berminat.

Permisi...

Yang unik dari rumah adat ini adalah konstruksinya. Bentuk atapnya rendah, sehingga pengunjung harus agak menunduk kalau mau naik ke teras apalagi masuk ke dalam. Hal ini sekaligus menandakan bahwa sang tamu harus menghormati tuan rumah.

Bagian lantai rumah terlihat kokoh seperti disemen. Namun, tahukah kamu apa bahan dasarnya? Yess, kotoran kerbau. Dicampur tanah liat, hehehe.

Di teras rumah, terdapat atraksi menenun oleh perempuan berusia sekitar 8 tahun. Masih muda banget memang. Saya aja mikir, waktu seusianya udah bisa apa yaa :')))) . Pengunjung juga diperbolehkan masuk dan melihat bagian dalam rumah yang ternyata masih alami sekali. Minim perabotan dan penerangan.

Lanjut, sang tour guide mengajak kami ke area perkampungan yang rumahnya lebih ramai. Ada sebidang tanah lapang yang rupanya sudah disiapkan untuk atraksi berikutnya: Tarian Peresean. Dua orang lelaki bertarung dengan pedang dan tameng tradisionalnya diiringi bunyi musik khas Sasak. Satu orang yang menjadi wasit, memiliki peluit sebagai pertanda tarian dimulai atau berhenti sejenak. Kalau tarian berhenti sejenak, wasitnya akan menari sementara kedua penari/petarungnya bersiap melanjutkan.

Area pertunjukan

Para pemusik

Pembukaan pertunjukan

Tari Peresean
Selesai para pemuda bertarung, pertunjukan dilanjutkan dengan atraksi anak-anak yang menampilkan tarian yang sama. Ini super gemaaaas! Anak-anaknya masih bocah banget aslinyaaa hahahha! Salut sama orang yang sudah bisa mewariskan kesenian tradisional itu ke mereka, juga kepada dedek-dedeknya yang kayak udah paham aja sama tariannya di usia sedini itu (walau kadang pas peluit ditiup, mereka masih berantem :'))) )


Priittt...priiitt..!!
Sudah selesai?

Belum. Selanjutnya, giliran para pengunjung yang berkesempatan 'uji nyali' mencoba tarian tersebut. Dua orang dari rombongan kami akhirnya menawarkan diri untuk tampil. Diiringi sorakan para pendukung plus rombongan lain yang kebetulan hadir, mereka seolah nggak mempedulikan teriknya matahari yang semakin bersinar.

Daeng Kiki vs Daeng Boski


Menjelajahi Desa Ende, pengunjung tidak perlu membayar tiket masuk, retribusi atau semacamnya. Yang diminta hanya keikhlasan pengunjung untuk mendukung pelestarian warisan budaya nusantara tersebut. Jadi, setelah tiga atraksi tadi ditampilkan, sang wasit dari pertandingan pertama kembali tampil menari sambil membawa salah satu tameng untuk diedarkan kepada para pengunjung yang ingin 'nyawer'. Kreatif!


Selain atraksi kesenian, di Desa Ende kita juga bisa membeli langsung produk kerajinan khas Suku Sasak seperti baju, sarung, tas, dan aksesoris lainnya. Tas selempangnya lucu-lucu deh. Kecil, praktis untuk dibawa jalan.

Puas berbelanja (dan ada juga yang ngadem), kami kembali melanjutkan perjalanan ke tempat berikutnya. Agak sedih waktu melihat perubahan raut wajah anak-anak yang mengiringi kami, tapi rupanya mereka tetap bisa dadah dadah ceria sambil menyampaikan pesan, "Semoga perjalanannya menyenangkan!"


Ah, terima kasih banyak Desa Ende! Di balik kesederhanaan penampilan dan kekayaan warisan budayanya, banyak pelajaran dan kesan positif yang bisa dipetik. Semoga lain waktu bisa berkunjung ke sana lagi :)

*All photos taken by Kiky Widiyanto