Thursday, March 10, 2016

Cerita Putri Pena: Surat dari Sang Ratu

Aku selalu suka hari ke lima ketika pagi. Hari kelima artinya aku bisa beristirahat sehari penuh di pengasingan atau melakukan perjalanan singkat ke Hutan Hijau. Hari kelima biasanya Ksatria Tak Berkuda pun mengunjungi hutan indah itu sehingga mungkin kami bisa bertemu.
Seperti yang sering kukatakan, aku selalu suka bertemu dengannya. Bahkan jika ia hanya diam pun, ada perasaan tenang jika di sampingnya. Sayangnya, belakangan ini semesta seperti sulit mempertemukan kami, entah mengapa. Sedang menyiapkan kejutan yang lebih besar? Semoga begitu.
Aku memang tidak bisa memaksa sang ksatria untuk selalu menemuiku. Ada tanggung jawab lain yang harus diselesaikannya. Jadi, aku tidak pernah meminta. hanya berharap.
Dan sebuah surat dari Sang ratu pagi ini datang mengejutkanku. Benar ini untukku? Setahuku, ia sangat sibuk mendampingi Sang Raja sehingga hampir kecil kemungkinannya mengirim surat seperti ini. Apalagi, aku juga jarang berbincang dengannya.
Penasaran, aku membuka amplopnya perlahan. Seorang prajurit mengantarkannya ketika aku selesai sarapan. Mungkin Sang Ratu memintaku pulang dan menyudahi pengasingan ini, khayalku.
Kubaca selintas isinya. Benar, ini tulisan tangan Sang Ratu. Dan isinya.. oh.. Bagaimana mungkin ia bisa mengetahui kegundahanku? 

Putriku, apa kabar? Kuharap kau selalu berada dalam lindungan Semesta.
Kau pasti terkejut menerima ini. Sayangnya, surat ini bukan permintaan untuk menyuruhmu pulang. Tidak Putriku, kau masih harus tetap di pengasingan sampai waktu yang telah ditentukan. 
Putriku, aku tahu kau seorang yang tangguh. Berada di pengasingan yang jauh dari kerajaan dan orang-orang terdekatmu memang bukan hal yang mudah. Tapi aku yakin, kau bisa menjalaninya dengan baik. Aku percaya padamu.
Ngomong-ngomong tentang orang terdekat, bagaimana kabarnya? Kau tahulah siapa yang kumaksud. Ksatria gagah itu. Masih seringkah kalian bertemu? Kudengar, kau selalu berubah menjadi lebih ceria jika bertemu dengannya. Hmm… Besar sekali pengaruh ksatria itu. Tapi kuharap, keceriaan pun tetap melekat padamu jika kalian tidak bertemu.
Aku tahu kau pasti selalu merindukannya, berharap selalu bertemu dengannya. Tapi aku juga tahu, kau bisa menahan perasaan rindu itu bukan?
Dulu, aku pun mengalami hal yang nyaris sama sepertimu saat mengenal Sang Raja. Kami tidak saling mengikat, tapi kami tahu hati masing-masing sudah saling terpikat. Banyak hal yang membuatku kagum pada sosoknya, meskipun saat itu ia hanyalah prajurit biasa.
Sayangnya, jarak memisahkan raga kami. Jauh, sangat jauh. Mungkin berlipat-lipat jarak Kerajaan Tulis dan Negeri 1000 Dongeng. Kereta kuda masih langka saat itu. Komunikasi melalui surat pun sangat terbatas. Tidak setiap hari ada orang yang bisa mengantarkan suratku kepadanya, begitu pula sebaliknya.
Aku tidak pernah menuntut harus sering bertemu dengannya. Juga tidak pernah mengekangnya, mengatur hidupnya. Ia bebas bergaul dengan siapapun. Dengan prajurit maupun dayang dari tempat tinggalnya atau kerajaan lain. Begitu pula aku. Dekat dengan Sang Raja tidak lantas membatasi kegiatan sosialku. Aku tetap berusaha berbuat baik kepada siapapun. Dan, kau tahu? Nyaris selama 3 tahun kami tidak pernah bertemu langsung sejak pertemuan pertama, meski komunikasi masih terjaga.
Satu hal, aku selalu meminta petunjuk Semesta. Jika memang Sang Raja adalah orang yang ‘dikirimnya’ untukku, aku selalu memohon untuk diberi keyakinan. Pada akhirnya, aku percaya, jika dia memang orangnya, Semesta pasti akan menyatukan kami kelak. Dan lihatlah sekarang, aku bisa selalu mendampinginya.
Putriku, kuharap cerita singkatku ini bisa sedikit menghilangkan gundahmu. Biarlah Semesta bekerja dengan caranya untukmu dan Sang Ksatria. Selalu meminta yang terbaik, maka Ia akan memberikanmu yang terbaik. Jika ksatria itu memang yang terbaik bagimu, yakinlah suatu saat kalian bisa bersatu. Aku pun akan selalu berdoa untukmu.
Tetaplah bersabar, Putriku. Selagi masih muda, banyaklah membuat karya. Jadilah putri yang tangguh agar kelak bisa menjadi pendamping ksatria yang tangguh pula. Aku yakin kau bisa.
Dan satu lagi, tetaplah tersenyum. Kau akan lebih cantik kalau tersenyum.
Tanpa sadar, air mataku menetes perlahan. Terima kasih, Sang Ratu. Terima kasih untuk kembali menguatkanku. Ya, Kau benar. Aku harus tetap yakin pada Semesta.
Aku melipat surat dan memasukannya kembali ke dalam amplop. Baiklah, masih ada beberapa hari tersisa dan aku harus menjalaninya dengan baik. Sambil tetap berdoa, semoga bisa bertemu kembali dengan Sang Ksatria.
Ketukan kecil terdengar di pintu. Aku membukanya. Tak ada orang, hanya sepucuk surat bernuansa biru. Khas Sang Ksatria. Syukurlah, Semesta masih menyatukan hati kami. Terima kasih dan tetaplah menyatukan kami, Semesta.

0 Comments:

Post a Comment