Sunday, March 13, 2016

Cerita Putri Pena: Kunjungan ke Pengasingan #2

Kami tiba di Kampung Cakrawala, sebuah kampung di Selatan daerah pengasinganku yang seluruh penduduknya perempuan dan anak-anak. Tampak kesibukan mewarnai sore yang beranjak malam hari itu. Beberapa perempuan memanggul hasil alam dibantu anak-anak. Yang lain terlihat sibuk menyiapkan makan malam, terlihat dari asap yang membumbung dari tempat tinggal mereka.
“Selamat datang di Kampung Cakrawala,” seorang perempuan tua menyambut kami ramah. Usianya mungkin di atas Sang Ratu, tapi semangatnya masih terlihat membara. Sedikit ragu, aku dan Ksatria Tak Berkuda melangkah masuk. Namun, keramahan perempuan tersebut membuat kami dengan cepat beradaptasi di kampung itu.
Selain Ksatria Tak Berkuda, ternyata ada beberapa lelaki yang sedang berkumpul di dekat rumah perempuan tua itu. Sepertinya akan ada perjamuan. Sedikit gugup, aku dan Ksatria Tak Berkuda bergabung bersama mereka.
“Ada yang kau kenal?” bisik sang Ksatria. Aku menatap sekeliling dan menggeleng lemah. Tempat ini benar-benar asing bagiku.

“Setidaknya, sekarang ada aku,” bisik sang Ksatria sambil tersenyum lebar. Aku tertawa kecil. Ia benar. Setidaknya, ia ada di sisiku sekarang sehingga aku tidak kesepian.
Ternyata memang ada perjamuan saat itu. Perempuan tua yang menyambutku tadi adalah Kepala Kampung sekaligus tuan rumah perjamuan. Menurutnya, tidak setiap saat orang asing terutama lelaki bisa masuk ke kampung mereka. Perjamuan itu sendiri diadakan sebagai bentuk syukur mereka kepada Semesta atas panen yang berlimpah tahun ini.
Setelah perjamuan, Kepala Kampung mengajak para tamu berkeliling Kampung Cakrawala. Tidak hanya itu, ia juga banyak menceritakan keseharian dan adat di kampungnya. Aku menyimak ceritanya. Sesekali, Ksatria Tak Berkuda membantu membuat lukisan saat menemukan hal menarik.
“Kau melukisnya untukku?” tanyaku pelan saat ia asyik melukis dua anak yang sedang tertawa riang. Ksatria Tak Berkuda tersenyum simpul. Kuartikan senyum itu sebagai ‘ya’. Ah Ksatriaku…
Hari sudah semakin gelap ketika kami selesai berkeliling. Beberapa tamu langsung pulang dengan kuda masing-masing. Aku seperti tersadar. Lalu bagaimana aku dan Ksatria Tak Berkuda akan pulang? Bukankah ia juga harus kembali ke perkemahannya?
“Tenang saja, aku akan mengantarmu.” Seakan menjawab kecemasanku, Ksatria Tak Berkuda tiba-tiba berkata. “Sudah larut malam, tidak aman jika kau kembali ke pengasingan sendirian,” jelasnya.
Seperti biasa, aku seperti tersihir dengan kata-katanya. Hanya bisa mengangguk dan tersenyum. Jika bukan di tempat asing, mungkin aku sudah melonjak kegirangan.
Dan sang Ksatria benar-benar menepati kata-katanya. Mengantarku kembali ke pengasingan. 
Kami berjalan kaki. Meski rembulan tidak bersinar terlalu terang, aku tidak khawatir. Ada Ksatria Tak Berkuda di sisiku. Menjagaku. Sesekali kami berhenti sejenak ketika aku sedikit lelah.
Sampailah kami kembali ke pengasinganku. Dengan selamat. Bahkan serangga hutan tadipun seperti enggan mendekat. 
Ksatria Tak Berkuda pamit. Sebelum pergi, ia menyerahkan beberapa lukisan karyanya di Kampung Cakrawala tadi. Ia memintaku menyimpannya, kalau-kalau Nenek Sihir meminta karena aku tidak sempat melukis tadi. Aku tersenyum menerimanya.
Sekali lagi, Ksatria Tak Berkuda telah menceriakan hatiku. Bersamanya, mengerjakan tugas dari Nenek Sihir terasa sedikit ringan dan menyenangkan. Dan sekali lagi, aku berterima kasih pada-Mu, Semesta. Untuk ksatria terbaik yang Kau kirimkan untukku ini. Terima kasih.

0 Comments:

Post a Comment