Sunday, March 27, 2016

Cerita Putri Pena: Menyusun Kitab

Kau pernah dikirim kerajaan atau negaramu untuk mengikuti sebuah perang besar? Aku  belum. Tapi kemarin, rasanya aku mengerti bagaimana menjadi seorang ksatria yang dinantikan kepulangannya dari medan perang. Dalam perang, hasil akhirnya hanya dua, menang atau kalah. Dan rakyat yang baik akan tetap menyambut ksatrianya dengan hangat meski sang ksatria gagal memenangkan perang yang diikutinya.
Tidak, aku bukan baru saja mengikuti sebuah perang besar. Tidak pula menggunakan kemampuan memanahku atau apapun itu sebagai bentuk pembelaan diri. Tubuhku pun tidak mendapat luka berarti, meski ada lelah yang sangat terasa.

Bagaimana tidak lelah? Kemarin, aku bersama kelima sahabatku akhirnya memberanikan diri menghadap sang Raja untuk memperlihatkan sebagian kitab yang sedang kami susun. Masih ingat? Aturan resmi Kerajaan Tulis menyatakan bahwa setiap pangeran atau putri yang hendak melepaskan gelarnya dan meninggalkan kerajaan harus membuat sebuah persembahan yang bermanfaat bagi masyarakat Kerajaan Tulis. Adapun yang berhak menentukan apakah persembahannya diterima atau ditolak adalah Sang Raja, Hakim Agung, dan para tetua kerajaan.
Sekretaris kerajaan memanggilku dua hari lalu. Secara singkat, ia menyampaikan bahwa sang Raja mendengar aku sedang menyusun persembahan dan ia ingin melihatnya. Dua hari sebenarnya bukan waktu yang lama untuk bisa membuat awal sebuah kitab yang baik, tetapi aku mengiyakan. Apalagi, kudengar lima putri lainnya pun diminta menghadap dalam waktu yang sama.
Jadi, datanglah kami. Masing-masing membuat sebuah kitab, hanya saja isinya disesuaikan dengan keahlian kami. Aku sendiri lebih memilih membuat kitab berisi kumpulan dongeng klasik sejak lima abad yang lalu, sementara para sahabatku menulis hal yang lebih beragam.
Kami menemui sang Raja di ruang pengadilan persembahan. Ruang ini memang dikhususkan untuk mengadili para pangeran dan putri yang akan meninggalkan kerajaan. Terletak satu bangunan dengan Gedung Pendidikan membuat aku dan para sahabatku dulu sering mencoba melihat bagaimana beberapa pangeran dan putri sebelum kami diadili, termasuk Putri Sajak. Sayangnya sahabatku yang satu itu enggan bercerita lebih lanjut mengenai apa yang terjadi dalam ruang pengadilan persembahan.
Ruangan itu tidak bisa dikatakan besar, tetapi juga tidak sempit. Setidaknya, cukup luas dan hening untuk diisi oleh enam orang putri, sang Raja, Hakim Agung, dan satu orang tetua kerajaan. Entah mengapa Hakim Agung sudah ada di sana, padahal kitab yang kami susun belum selesai. Selalu ada rasa segan jika berhadapan langsung dengan Hakim Agung. Padahal, kudengar ia sebenarnya adalah sosok yang baik hati dan gemar berdiskusi. Entahlah, aku sendiri belum pernah terlibat obrolan panjang dengannya.
Kami dipanggil satu per satu untuk menjelaskan isi kitab yang sedang kami susun. Ada satu kursi di hadapan sang Raja, Hakim Agung, dan tetua kerajaan sebagai tempat untuk menjelaskan. Sementara, tak jauh dari kursi tunggal tersebut, ada deretan tempat duduk untuk menunggu giliran menjelaskan. Aku mendapat kesempatan ketiga sehingga bisa mendengarkan penyampaian isi kitab dari dua putri sebelumnya.
Perlu kau ketahui, pengadilan dimulai ketika matahari masih tepat berada di atas kepala. Ketika hari masih terang dan setiap orang sibuk dengan pekerjaannya. Namun, ketika aku mengintip ke luar ruangan saat putri kelima sedang menjelaskan isi kitabnya, matahari sudah berangsur-angsur kembali ke peraduan. Bisa kau bayangkan berapa lama kami berada di dalam ruang pengadilan persembahan?
Dan kini, rasanya aku pun mengerti mengapa Hakim Agung begitu disegani hampir setiap orang di Kerajaan Tulis. Selain memang pengalaman hidupnya yang sangat kaya, kemampuan berlogikanya pun begitu kuat. Seringkali apa yang kami, terutama aku, anggap sebagai sebuah kebenaran, hal itu adalah salah menurut pandangannya. Secara sederhana ia akan menjelaskan logikanya dan pada akhirnya kami yang mendengarkan akan mengangguk menyetujui. Hakim Agung juga sosok yang sangat memerhatikan hal kecil. Noda setitik pada selembar halaman pun tidak diterimanya karena baginya itu adalah kesalahan. Dan satu lagi yang terkenal dari sosok berwibawa tersebut adalah sifatnya yang selalu menginginkan kesempurnaan.     “Kalau kau bisa memberikan yang terbaik dan sempurna, berikanlah!” begitu ucapnya di sela pengadilan.
Pada akhirnya, aku dan kelima sahabatku bernasib sama seperti Putri Sajak. Kitab kami ditolak. Penolakan tersebut tentu beralasan karena sebelumnya tetua kerajaan, sang Raja, dan Hakim Agung telah menjelaskan panjang lebar mengenai persembahan yang diinginkan kerajaan: baik, benar, bermanfaat, dan sempurna.
Aku tidak tahu lagi bagaimana harus berekspresi. Kecewa, sedih, kesal sudah menjadi satu. Hanya ekspresi datar yang bisa aku tampilkan ketika putusan pengadilan dibacakan. Namun aku pun mengakui, masukan-masukan dari tetua kerajaan, sang Raja, dan terutama Hakim Agung tadi memang benar adanya. Beberapa dongeng yang aku tulis sudah sering didengar masyarakat dan pada bagian awal kitab aku belum menjelaskan siapa saja pendongeng yang ceritanya kutulis pada kitabku. Setiap putri pun mendapat masukan yang berbeda sesuai kitab yang sedang mereka susun dan kalau kulihat dari raut mukanya, kurasa mereka merasakan hal yang tidak jauh berbeda denganku.
Jadi, rencana untuk segera menjalani hidup baru di luar kerajaan harus disimpan dulu. Cita-cita itu masih tetap dan harus ada, tetapi kini aku harus fokus memperbaiki isi kitab yang kususun sebagai persembahan. Sepertinya, karena aku selalu meminta yang terbaik kepada Semesta, kali ini aku harus membuat persembahan yang benar-benar terbaik dan nyaris sempurna.
Di luar ruang sidang, beberapa pangeran dan putri menunggu kami. Sesaat, wajah lelahku hilang berganti senyum tipis melihat mereka yang dengan sabar ikut menunggu hasil pengadilan. Dan meski belum ada satupun putri yang diterima kitabnya, mereka masih tetap menyemangati. Ya, dalam keadaan seperti ini, sekecil apapun doa dan dukungan terutama dari  orang-orang terdekat sangat berarti. Setidaknya, untuk menjadi pendorong agar bisa bangkit kembali dan menyiapkan persembahan terbaik, sesempurna mungkin dan sesegera mungkin.
Aku percaya, suatu saat kami pasti bisa melalui ini dan segera melepas gelar dari Kerajaan Tulis. Perjalanan panjang sebelum saat itu tiba adalah salah satu proses agar kami bisa menjadi sosok yang lebih baik lagi serta tangguh dalam menjalani kehidupan di luar kerajaan kelak. Kau mau menemani dan mendukung kami menjalani proses ini? Mari.

0 Comments:

Post a Comment